Jumlah peserta non aktif program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melesat drastis saat ini. Berdasarkan data per Maret 2025, tercatat ada 56,8 juta peserta yang berstatus non aktif.
Dilansir infoFinance, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenkes, Kunta Wibawa Dasa Nugraha mengatakan jumlah itu naik tinggi dibanding tahun 2019 yang sebanyak 20,2 juta peserta non aktif.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Sebagaimana diketahui, JKN merupakan program jaminan kesehatan yang bertujuan memberikan perlindungan bagi masyarakat. Sementara, BPJS Kesehatan merupakan badan penyelenggaranya.
“Yang meningkat sangat drastis adalah yang non-aktif. Yang tadinya 20,2 juta menuju ke 56,8 juta. Ini yang seharusnya menjadi concern kita bersama,” ujarnya saat rapat panitia kerja Kesehatan nasional bersama Komisi IX DPR RI di Jakarta Pusat, Rabu (7/5/2025).
Dia menjelaskan meski berstatus non aktif namun tidak semuanya menunggak iuran. Berdasarkan data yang dipaparkan, ada 15,3 juta peserta yang tidak membayar iuran, sementara 41,5 juta merupakan peserta non aktif mutasi.
Peserta non aktif mutasi adalah peserta yang non aktif karena dikeluarkan dari segmen kepesertaan sebelumnya dan belum mengaktifkan kepesertaannya kembali.
“Mutasi itu bisa macam-macam. Misalnya dari PBI (penerima bantuan iuran), ada anak yang di situ, kemudian ternyata dia sudah berkeluarga, sudah bekerja, dia bisa bekerja. Atau tadinya dia tidak bekerja, kemudian bekerja, sampai terima bekerja yang di sektor formal,” tuturnya.
Kunta menjelaskan total piutang iuran peserta JKN juga meningkat dan tembus Rp 29 triliun pada Maret 2025, naik dibanding tahun 2019 yang sebesar Rp 12,2 triliun.
“Kalau tadi ada peserta tidak aktif, berarti kan dia tidak membayar iuran. Kalau kita hitung, itu kenaikannya juga cukup signifikan dari 2019 sampai 2025. Yang awal-awal 2019 itu sekitar Rp 12,2 triliun, di 2025 itu bisa mendekati Rp 29 triliun,” jelas dia.
Secara umum, jumlah kepesertaan JKN mengalami peningkatan signifikan. Tahun 2019 ada 83,6% penduduk Indonesia yang sudah masuk JKN, lalu persentasenya naik menjadi 98,3% di Maret 2025. Meskipun jumlah kenaikan peserta yang aktif hanya naik 3,6%.
“Dari 83,6% penduduk Indonesia yang sudah masuk JKN di tahun 2019, sampai saat ini, Maret 2025 itu sekitar 98,3%. Tapi kalau kita lihat yang aktif, itu kenaikannya tidak cukup tinggi. Yang naiknya hanya sekitar 3,6%. “Jadi 76,1% (peserta aktif) di tahun 2019, sampai Maret 2025 baru 79,7%,” jelasnya
Sementara itu, Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan, Arief Witjaksono Juwono Putro mengingatkan adanya sanksi bagi yang tidak patuh membayar iuran. Sanksi yang dimaksud tertera dalam Peraturan Presiden Nomor 82/2018 juncto Perpres No 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan.
Pertama, peserta atau pemberi kerja yang tidak membayar iuran sampai 24 bulan maka penjaminan peserta bisa dinonaktifkan sejak 1 bulan berikutnya.
“Peserta atau pemberi kerja yang tidak membayar iuran sampai dengan 24 bulan maka penjaminan peserta dihentikan sementara atau dinonaktifkan sejak 1 bulan berikutnya. Jadi memang ada masa tunggu satu bulan kemudian,” ujarnya.
Kemudian, pemberi kerja yang belum melunasi tunggakan wajib bertanggung jawab saat pekerjanya membutuhkan pelayanan kesehatan. Artinya jika ada karyawan yang berubah menjadi tidak aktif maka biaya rumah sakit menjadi tanggung jawab pemberi kerja.
“Pemberi kerja yang belum melunasi tunggakan wajib bertanggung jawab pada saat pekerjanya yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Artinya kalau ada yang berubah tidak aktif, pekerja yang sakit itu menjadi tanggung jawab dari pemberi kerja,” tutur Arief.
Pemberhentian sementara penjaminan peserta berakhir pada saat peserta membayar kembali tunggakannya sampai dengan 24 bulan, serta membayar tunggakan bulan berjalan. Dengan begitu, kata Arief, BPJS akan mengaktifkan kembali status kepesertaan.
Kemudian, jika peserta menggunakan layanan rawat inap tingkat lanjut dalam waktu 45 hari setelah status kepesertaannya aktif kembali setelah melunasi tunggakan, peserta wajib membayar denda kepada BPJS Kesehatan.
“Kemudian, ada juga ketentuan denda, yaitu pada apabila dalam waktu 45 hari setelah dia melunasi tunggakan dia mengakses ke rawat inap, khusus rawat inap, ini dia membayar denda kepada BPJS kesehatan untuk 1 kali rawat inap,” tutur Arief.
Dia menjelaskan jumlah denda adalah sebesar 5% dari perkiraan biaya paket Indonesia Case Based Groups (INA-CBGs) berdasarkan diagnosa dan prosedur awal bulan tertunggak. Ketentuannya, jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 bulan dan besaran denda paling tinggi Rp 20 juta.
“Besarnya ini diatur juga, itu 5% dari perkiraan biayanya INA-CBGs dengan jumlah bulan tertunggak 12 bulan dan besaran denda paling tinggi Rp 20 juta. Denda ini dikecualikan bagi peserta PBI JK dan PBPU dan BP,” tutupnya.