Perahu bidar menjadi salah satu ikon budaya yang lekat dengan momentum perayaan Hari Kemerdekaan RI di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Ternyata, perahu bidar telah ada sejak masa Kesultanan Sultah Mahmud Badaruddin I yang disebut sebagai “Pencalang”.
Menurut Budayawan Palembang Yudi Syarofi, nama tersebut berasal dari kata mancal dan hilang yang berarti cepat hilang karena kecepatannya yang tinggi pada zamannya.
Dia menceritakan, perahu pencalang dulunya digunakan sebagai alat transportasi kedinasan untuk menyampaikan titah sultan oleh para utusannya.
“Jadi pada zaman Kesultanan, pencalang ini digunakan untuk touring. Gunanya sebagai alat transportasi yang bertugas mengirim utusan untuk menyampaikan kebijakan sultan,” ungkapnya saat ditemui infoSumbagsel, Sabtu (16/8/2025).
Pencalang juga kerap digunakan untuk olahraga mancing. Perahu sepanjang 31 meter itu kadang dipergunakan untuk sultan bertamasya mengarungi Sungai Musi.
“Pencalang dulunya memiliki pondok kecil di tengah perahu. Di situlah tempat sultan dan keluarganya kumpul saat berpindah tempat,” jelasnya.
“Saat itu, pencalang belum dilombakan. Hanya sebatas sebagai transportasi kedinasan dan tamasya bagi sultan,” sambungnya.
Masuk ke masa Belanda, nama pencalang diganti menjadi bidar oleh pasukan yang sempat menjajah Indonesia tersebut. Tahun 1898, bidar dijadikan perayaan-perayaan ulang tahun untuk Ratu Belanda, Wilhelmina.
“Waktu itu, Ratu Wilhelmina ulang tahun ke-18. Bidar ini dijadikan perayaan ulang tahunnya. Dua tahun kemudian, mereka mengadakan lomba bidar untuk memperingati Hari Kemerdekaan Belanda,” ujar Yudi yang juga penulis buku Bidar Cermin Filosofis Budaya Tepian Sungai ini.
Kata dia, perlombaan bidar akhirnya diambil alih kembali oleh Indonesia setelah resmi merdeka pada tahun 1945.
“Saat itu, lombanya antarkampung. Dari zaman Belanda pun perlombaannya tiap kampung, bukan individu. Terakhir sampailah tahun 1976 yang memiliki sponsor,” kata Yudi yang juga anggota Tim Ahli Cagar Budaya Sumsel ini.
Yudi mengatakan, lomba antarkampung inilah yang memeriahkan perayaan 17 Agustus di Palembang begitu terasa.
Kemeriahan itu mulai terkikis begitu wilayah perkampungan berganti. Pada tahun 1980-an, Yudi menyebut, perlombaan bidar saat itu menjadi atas nama perusahaan-perusahaan sponsor hingga kini.
“Harapannya sekarang kembali menjadi perlombaan antarkampung. Alurnya mungkin bisa jadi dari Pemkot Palembang memerintahkan setiap kecamatan untuk menurunkan bidar, agar kembali ke fitrahnya,” ungkapnya.
Yudi juga berharap pemerintah dapat memberi bantuan perawatan kepada para pemilik bidar mengingat biaya yang diperlukan cukup besar demi merawat tradisi Sumatera Selatan tersebut.
“Ini tradisi kita yang sudah ada sejak jaman kesultanan. Pembuatan satu bidar bisa memakan biaya hingga Rp 200 juta, pemeliharaannya pun butuh puluhan juta. Jangan sampai tradisi ini habis dimakan zaman,” ujarnya.