Festival Perahu Bidar di Sungai Musi setiap 17 Agustus, menjadi magnet bagi masyarakat Palembang Sumatera Selatan (Sumsel). Euforia penonton begitu terasa ketika tepian sungai menjelma menjadi tribun raksasa untuk puluhan ribu pasang mata.
Deru ombak kian terasa, berpadu dengan riuh perahu ketek yang berlalu-lalang. Satu per satu masyarakat datang silih berganti melewati pintu masuk Plasa Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang.
Pada ribuan tahun lalu, Sungai Musi menjadi saksi bisu terciptanya perahu bidar. Saat itu, bidar berfungsi sebagai transportasi yang menjaga perairan di masa Kesultanan Palembang.
Waktu berubah membuat bidar pun beralih fungsi. Ia tidak lagi menjadi transportasi tradisional, melainkan naik tingkat sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan.
Melalui festival perayaan HUT RI serta Hari Jadi Kota Palembang, bidar muncul di tengah modernisasi zaman. Masyarakat Palembang tak pernah absen menyaksikan perhelatan akbar yang membuat tradisi leluhur kembali hidup.
Masyarakat Palembang memandang Festival Perahu Bidar lebih dari sekedar perlombaan. Ia merupakan simbol identitas dan kebanggaan kolektif yang menyatu dalam denyut jantung Sungai Musi. Inilah yang membuat antusiasme masyarakat tidak pernah surut.
Sahutan penonton bersorak ria ketika perahu peserta bidar melaju kencang dari arah Jembatan Musi VI. Riuh ombak tak henti menerpa dinding di tepi sungai. Beberapa perahu kecil milik warga silih berganti melewati jalur perlombaan.
Ia mengaku harus berkeliling ke tiga titik lokasi, dimulai dari dermaga, di bawah Jembatan Ampera, bahkan mengitari Plasa BKB Palembang. Akhirnya ia duduk nyaman di tangga pelataran Plasa BKB Palembang, tempat para penyewa ketek menambatkan perahu.
“Alhamdulillah, kami akhirnya dapat tempat di sini (pelataran Plasa BKB Palembang),” ujar Hipsiah di sela-sela menyaksikan lomba bidar, Minggu (17/8/2025).
Kepadatan yang terjadi di beberapa titik menjadi salah satu faktor, yang membuat keamanan menonton bidar kurang maksimal. Menurut Hipsiah, panitia perlu penataan yang lebih baik agar dapat mengantisipasi jumlah penonton yang membludak.
Selain itu, ketersediaan ruang khusus bagi kelompok marjinal dan rentan sangat dibutuhkan. Mengingat, cuaca terik yang menyengat dapat membuat kelelahan dan ketidaknyaman.
Anak-anak yang berada di dekat sungai pun bisa menjadi korban bila mereka tercebur atau terpeleset. “Sudah seharusnya panitia menyediakan tempat khusus untuk anak-anak, lansia, hingga ibu hamil dan menyusui,” ucap Hipsiah.
“Ini penting untuk diperhatikan. Namanya bayi, kan belum mengertii. Kalau haus mesti disusui oleh ibunya,” lanjutnya.
Hipsiah juga menyoroti perilaku penonton yang menyaksikan lomba bidar di sungai. Perahu tersebut mengganggu kenyamanan sehingga tidak bisa menikmati keseruan pendayung saat beradu pacu menuju garis finis.
Kesadaran penonton yang minim membuat mereka tidak mengerti dan patuh dengan aturan yang sudah dibuat. Lain dari itu, persoalannya karena ramai.
“Jadi susah buat diatur,” katanya.
Pria yang akrab disapa Jaka ini menilai, pengamanan yang dilakukan pemerintah sebenarnya sudah maksimal. Hanya saja euforia penonton di sungai sulit dikendalikan.
Kebiasaan masyarakat Palembang menonton menggunakan ketek, speedboat atau motor jukung sejak lama berdampak buruk bagi peserta, karena ombak yang ditimbulkan membuat laju bidar tidak terkendali.
“Kami salah satu yang menjadi korban di tahun 2024,” kenang Jaka.
Kecelakaan yang dialaminya tahun lalu terekam jelas di dalam ingatan. Ia menceritakan insiden itu terjadi pada fase penyisihan, ketika tiga bidar dilepas untuk adu cepat.
Saat melaju 200 meter dari garis mulai, ada perahu tongkang dan ketek penonton yang menghalangi perahu Jaka. Ia dan anak dayungnya tidak mampu mengendalikan bidar, hingga menabrak tongkang dan oleng ke kanan mengenai perahu ketek penonton.
Bagian depan perahu Jaka rusak parah. Ia pun segera melaporkan kejadian tersebut kepada panitia sehingga diputuskan pengulangan pertandingan. Sayangnya, ketika menunggu di garis mulai, tidak ada lawan yang datang. Akhirnya, panitia memutuskan perahu bidar Jaka didiskualifikasi.
“Kami yang dirugikan. Mulai dari waktu, tenaga, dan finansial,” ujar Jaka saat ditemui, Rabu (26/8/2025).
Kekalahan tahun lalu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Jaka saat bertanding di tahun ini. Beruntung, tidak ada insiden kecelakaan. Jaka dan timnya berhasil memenangkan pertandingan lomba bidar 2025.
Menurutnya, jerih payah kemenangan tersebut tidak terlepas dari peran petugas pengamanan di area sungai. Ia mengaku para petugas sudah melakukan kerja secara maksimal.
“Dibandingkan tahun kemarin, tahun ini agak mendingan. Tahun kemarin sebelum lomba, penonton sudah ada di tengah, di tahun 2025 penonton berada di belakang pihak keamanan,” jelasnya.
Walau begitu, Jaka menyayangkan masih banyak penonton yang menggunakan perahu dan speedboat di sungai. Menurutnya, pemerintah dan panitia perlu berupaya menyadarkan warga Palembang khususnya Sumsel, agar tidak menonton langsung dari atas perahu.
“Boleh menonton (di sungai) tapi tambatkan perahu di pinggir,” ungkapnya.
Bagi Jaka, menonton di pinggir sungai justru memberi kesempatan kepada peserta untuk menjaga keamanan mereka saat berlomba. Keseimbangan laju perahu bisa membuat peserta bertanding secara maksimal.
Jaka hanya ingin berlomba dengan tenang tanpa gangguan ombak maupun penonton yang tidak berkepentingan.
“Kalau bidar bisa melaju dengan bagus, masyarakat bisa menikmatinya. Bidar ini sangat menarik ditonton. Saat atlet mendayung, itu akan terlihat, rapi dan bagus,” jelasnya.
“Apalagi saat saling kejar-kejaran, itu enak dilihat. Boro-boro kami bisa mendayung yang bagus kalau perahu ketek dan speedboat penonton berseliweran,” sambungnya.
Pemkot Palembang mengaku telah berupaya secara maksimal untuk menyukseskan Festival Perahu Bidar Tradisional 2025. Kesiapan matang menjadi tantangan dalam mempersiapkan tradisi turun-temurun ini.
Kecelakan yang dialami Jaka dan timnya meninggalkan trauma yang harus disembuhkan, serta keramaian di jalur sungai harus diperbaiki. Dua persoalan inilah yang dibahas tuntas sebagai bahan evaluasi pemerintah.
Wali Kota (Wako) Palembang Ratu Dewa mengakui area lomba perahu bidar tahun 2025 masih belum sepenuhnya steril.
“Ada beberapa yang akan kita evaluasi lagi, terkait supaya (area lomba) lebih steril ke depannya,” ungkap Ratu Dewa usai perlombaan, Minggu (17/8/2025).
Sebelum perlombaan, Ratu Dewa cukup yakin dengan strategi keamanan bisa menciptakan ketertiban dan kenyamanan. Keyakinan itu rupanya tidak sepenuhnya berbuah manis.
Perahu yang tidak berkepentingan masih memadati Sungai Musi, terutama ketika peserta bidar tengah beradu kecepatan. Sejumlah perahu bahkan mengiringi dari belakang peserta lomba.
Saat laga final, kepadatan semakin menjadi-jadi. Penonton yang menggunakan perahu tampak mengabaikan imbauan dari petugas patroli. Teriakan personel terdengar hingga pinggir Sungai Musi.
Bahkan, speedboat petugas terus berulang kali menghalangi perahu penonton. Lambaian tangan aparat yang meminta penonton menepi seolah hanya jadi angin lalu. Banyak penonton tetap bersikeras mengiringi perahu peserta yang sedang bertanding.
Alhasil, perahu kembali berhamburan di Sungai Musi setelah peserta lomba menyentuh garis finis. Suasana ramai yang terjadi pada tahun lalu terulang kembali.
Petugas di darat menjaga keamanan di sekitar panggung yang dikelilingi pagar pembatas berwarna hitam. Sementara di perairan, terdapat perahu khusus dari Badan SAR Nasional (Basarnas), Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) dan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Palembang.
Perahu yang patroli di sungai bersiaga dari garis start hingga finish. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya keramaian di sungai akibat perahu penonton.
Direktur Polair Polda Sumsel Kombes Pol Sonny Mahar Budi Adityawan menjelaskan, karakteristik Sungai Musi dipengaruhi oleh cuaca, siklus pasang surut dan ombak dari perahu di sekitarnya.
Ketiga hal itu menjadi pertimbangan pola pengamanan Lomba Festival Bidar 2025. Selain itu, transportasi tongkang batu bara yang beroperasi setiap hari turut masuk catatan evaluasi.
Polairud melakukan koordinasi dengan instansi terkait yakni Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP). Ia meminta penghentian operasional perahu tongkang selama dua hingga tiga hari.
Keputusan tersebut dilakukan berdasarkan hasil evaluasi insiden tahun lalu yang mengizinkan tongkang bersandar di pinggir sungai. Akibatnya, salah satu bidar terhempas ombak dan menabrak tongkang batu baru.
Tahun ini, tongkang tidak boleh bersandar di jalur lomba, mulai dari Jembatan Ampera hingga Jembatan Musi VI Palembang. Setelah koordinasi dengan KSOP, pengamanan sungai bekerjasama dengan Lanal Palembang.
Hasil dari penyelarasan strategi memutuskan untuk menurunkan sejumlah personel yang bersiaga di pesisir sungai. Petugas terdiri dari 75 orang Polairud, 30 orang tim Polrestabes Palembang, 20 orang Lanal Palembang, dan 40 orang Dinas Perhubungan (Dishub) Palembang.
“Ini sebenarnya sudah cukup, dilengkapi juga dengan sarana lain. Ada perahu kapal yang mengawal penonton serta suporter yang mendampingi,” jelas Kombes Sonny saat ditemui di Mako Polair Sumsel, Selasa (9/9/2025).
Kemudian, dibuat aturan khusus untuk peserta lomba dan tim yang mendampingi. Pada saat lomba berlangsung mereka tidak boleh melakukan pendampingan dengan perahu. Pihak yang diperbolehkan hanya tim fotografi atau media yang mengabadikan lomba.
Selayaknya angin lalu, aturan itu dihiraukan. Sejumlah masyarakat yang belum mendengar sosialisasi tetap melakukan aktivitas rutin di sungai. Bahkan banyak yang menggunakan perahu nelayan untuk menonton sambil mendampingi.
Menurut Kombes Sonny, lebar Sungai Musi dinilai sudah cukup untuk melangsungkan perlombaan saat babak penyisihan dengan jumlah empat perahu. Namun, sisi kanan dan kiri sangat dipenuhi penonton, suporter yang mendampingi, hingga panitia lain.
Aktivitas perahu di samping kanan dan kiri sungai sangat berpengaruh pada ombak. Peserta tidak bisa mendayung dengan maksimal seperti saat latihan. Hal itu dipengaruhi oleh hempasan ombak sehingga membuat dayungan bidar kurang maksimal.
Polairud mengaku telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Karena di sini selain transportasi batu bara, ada juga yang perahu tradisional dari rakyat yang beraktivitas sehari-hari maupun penyedia jasa sewa.
Mereka pun menyarankan untuk mengganti lokasi lomba di area sungai yang minim ombak, misalnya di Sungai Lematang. Karena aspek historis Jembatan Ampera dan BKB, panitia tidak mempertimbangkan saran tersebut dan tetap melangsungkan lomba di jalur seperti biasa.
“Di Lematang itu transportasi masyarakat atau tongkang yang mondar-mandir sedikit, tapi takutnya nanti tidak ada yang menonton. Sebab jaraknya jauh dari Kota Palembang,” jelasnya.
Sebagai bahan evaluasi untuk pelaksanaan pengamanan bidar 2026, Kombes Sonny mengatakan ada banyak yang harus dimatangkan. Langkah pertama yakni mengoptimalkan sosialisasi. Terutama kepada masyarakat yang belum mendengar atau mengetahui tentang jalur steril.
Evaluasi kedua yakni berkoordinasi dengan panitia penyelenggara. Ia menginginkan adanya ketegasan untuk suporter atau tim official agar tidak berada di lokasi perlombaan.
Langkah terakhir yakni mengoptimalkan pengamanan dengan cara menambah sarana kapal, mendampingi peserta yang melaju, serta bersiaga di titik tertentu untuk mengawasi penonton.
Bahan evaluasi tersebut harus direalisasikan agar kesempatan bidar eksis di mata dunia terbuka lebar. Selain itu, Polairud juga menyarankan penambahan peserta lomba yang tidak berasal hanya dari masyarakat lokal.
“Saran kami agar perahu bidar lebih mendunia, mungkin dari peserta dulu. Pesertanya jangan dibatasi dari Sumsel saja. Mungkin bisa meluas se-Sumatera. Ini akan lebih ramai dan semarak, serta berdampak pada perekonomian Sumsel,” katanya.
Penonton yang datang dari anak-anak hingga orang tua, rela bercucuran keringat untuk melihat pendayung beradu pacu.
Melihat kondisi gegap gempita perayaan tersebut, pengamat sosial, Dr. Eni Murdiati, M.Hum, menilai ada satu hal yang terus disuarakan oleh peserta lomba; ruang gerak yang kian terbatas. Menurutnya, ribuan orang terancam oleh kerumunan penonton yang terlalu dekat dengan jalur perahu. Itu bukan hanya sekadar teknis, melainkan menyentuh soal kesadaran bersama.
“Festival Bidar bukan hanya soal siapa yang tercepat di air, tapi tentang bagaimana masyarakat menyatu dalam tradisi yang telah diwariskan lintas generasi,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (16/9/2025).
Dari segi kacamata budaya, tepian sungai adalah ruang sakral. Di sana masyarakat merayakan kebersamaan dan menyambut tim-tim dayung yang melaju pesat penuh. Namun, seiring waktu, batas antara antusiasme dan potensi budaya menjadi tidak terlihat.
Penonton yang terlalu dekat dengan arena lomba bukan hanya mengganggu, tapi juga mengancam keselamatan, baik bagi peserta maupun penonton itu sendiri.
Dr. Eni menekankan pentingnya membangun kesadaran kolektif bahwa menjaga ruang tidak berarti menjauh dari tradisi. Itu bisa menjadi bagian dari menghormatinya.
“Kita harus menanamkan bahwa menghormati peserta adalah bagian dari merawat nilai budaya itu sendiri. Jika tepian sungai dibiarkan tanpa pengaturan, kita sedang mempertaruhkan makna luhur yang ada dalam perayaan ini,” ujarnya.
Ruang aman dan nyaman bisa tercipta dalam festival bidar, tetapi tidak cukup dengan imbauan saja. Perlu keterlibatan banyak pihak, mulai dari pemerintah daerah, panitia pelaksana, tokoh masyarakat, hingga komunitas lokal.
Semua pihak ini menghadirkan regulasi yang adil dan edukasi sosial budaya yang menyentuh hingga ke akar rumput. Salah satu usulan konkret yakni pembatas fisik di area lomba, zona penonton yang lebih tertib, serta relawan lokal yang bertugas menjaga keamanan. Ini bisa menjadi langkah awal menciptakan ruang aman dan nyaman saat menonton lomba bidar.
Dr. Eni berujar, yang dibutuhkan adalah rasa memiliki yang bijak, kesadaran bahwa menjadi bagian dari tradisi tidak berarti hadir secara fisik saja, tetapi sikap yang menjaga dan menghormati.
“Jika tidak ada kesadaran bersama, festival bisa kehilangan esensinya. Ia berubah dari perayaan budaya yang luhur menjadi tontonan yang rawan risiko. Dan itu bukan warisan yang ingin kita teruskan,” katanya.
Terkait kenyamanan penonton di darat, lanjutnya, perlu adanya kesadaran sosial bagi penyelenggara, anggaran yang memadai, dan keterlibatan komunitas lokal. Hal paling penting dari itu semua adalah konsep acara yang matang seperti menyiapkan ruang aman dan nyaman, tata letak lokasi, dan Standar Operasional Prosedur (SOP).
“Semua unsur terkait perlu dilibatkan. Ibaratnya sama seperti membuat lapangan sepak bola bertaraf internasional, dan semua itu butuh perencanaan yang matang,” ungkapnya.
Semua pihak yang terlibat, mulai dari yang berjabatan hingga warga sipil, memiliki kewajiban untuk menyadarkan masyarakat agar menonton sesuai aturan. Tujuannya agar ruang aman dan nyaman bisa tercipta, dan tradisi ini terus terjaga.
Ketika budaya dirayakan bersama, ia tumbuh. Tapi ketika dirayakan tanpa kendali, ia bisa terluka.
“Festival Bidar adalah warisan, dan seperti semua warisan, ia perlu dijaga. Bukan hanya oleh mereka yang mendayung, tapi juga oleh kita yang menontonnya dari tepian,” ujarnya.
Penonton Soroti Kurangnya Ruang Aman Festival Perahu Bidar Palembang
Penonton Lomba Bidar di Sungai Musi Jadi Kendala
Upaya Pemerintah Kota Palembang Ciptakan Ruang Aman
Pengamanan Penonton dan Jalur Lomba Bidar di Sungai Musi
Ciptakan Ruang Aman Nonton Lomba Bidar Palembang
Ia mengaku harus berkeliling ke tiga titik lokasi, dimulai dari dermaga, di bawah Jembatan Ampera, bahkan mengitari Plasa BKB Palembang. Akhirnya ia duduk nyaman di tangga pelataran Plasa BKB Palembang, tempat para penyewa ketek menambatkan perahu.
“Alhamdulillah, kami akhirnya dapat tempat di sini (pelataran Plasa BKB Palembang),” ujar Hipsiah di sela-sela menyaksikan lomba bidar, Minggu (17/8/2025).
Kepadatan yang terjadi di beberapa titik menjadi salah satu faktor, yang membuat keamanan menonton bidar kurang maksimal. Menurut Hipsiah, panitia perlu penataan yang lebih baik agar dapat mengantisipasi jumlah penonton yang membludak.
Selain itu, ketersediaan ruang khusus bagi kelompok marjinal dan rentan sangat dibutuhkan. Mengingat, cuaca terik yang menyengat dapat membuat kelelahan dan ketidaknyaman.
Anak-anak yang berada di dekat sungai pun bisa menjadi korban bila mereka tercebur atau terpeleset. “Sudah seharusnya panitia menyediakan tempat khusus untuk anak-anak, lansia, hingga ibu hamil dan menyusui,” ucap Hipsiah.
“Ini penting untuk diperhatikan. Namanya bayi, kan belum mengertii. Kalau haus mesti disusui oleh ibunya,” lanjutnya.
Hipsiah juga menyoroti perilaku penonton yang menyaksikan lomba bidar di sungai. Perahu tersebut mengganggu kenyamanan sehingga tidak bisa menikmati keseruan pendayung saat beradu pacu menuju garis finis.
Kesadaran penonton yang minim membuat mereka tidak mengerti dan patuh dengan aturan yang sudah dibuat. Lain dari itu, persoalannya karena ramai.
“Jadi susah buat diatur,” katanya.
Penonton Soroti Kurangnya Ruang Aman Festival Perahu Bidar Palembang
Pria yang akrab disapa Jaka ini menilai, pengamanan yang dilakukan pemerintah sebenarnya sudah maksimal. Hanya saja euforia penonton di sungai sulit dikendalikan.
Kebiasaan masyarakat Palembang menonton menggunakan ketek, speedboat atau motor jukung sejak lama berdampak buruk bagi peserta, karena ombak yang ditimbulkan membuat laju bidar tidak terkendali.
“Kami salah satu yang menjadi korban di tahun 2024,” kenang Jaka.
Kecelakaan yang dialaminya tahun lalu terekam jelas di dalam ingatan. Ia menceritakan insiden itu terjadi pada fase penyisihan, ketika tiga bidar dilepas untuk adu cepat.
Saat melaju 200 meter dari garis mulai, ada perahu tongkang dan ketek penonton yang menghalangi perahu Jaka. Ia dan anak dayungnya tidak mampu mengendalikan bidar, hingga menabrak tongkang dan oleng ke kanan mengenai perahu ketek penonton.
Bagian depan perahu Jaka rusak parah. Ia pun segera melaporkan kejadian tersebut kepada panitia sehingga diputuskan pengulangan pertandingan. Sayangnya, ketika menunggu di garis mulai, tidak ada lawan yang datang. Akhirnya, panitia memutuskan perahu bidar Jaka didiskualifikasi.
“Kami yang dirugikan. Mulai dari waktu, tenaga, dan finansial,” ujar Jaka saat ditemui, Rabu (26/8/2025).
Kekalahan tahun lalu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Jaka saat bertanding di tahun ini. Beruntung, tidak ada insiden kecelakaan. Jaka dan timnya berhasil memenangkan pertandingan lomba bidar 2025.
Menurutnya, jerih payah kemenangan tersebut tidak terlepas dari peran petugas pengamanan di area sungai. Ia mengaku para petugas sudah melakukan kerja secara maksimal.
“Dibandingkan tahun kemarin, tahun ini agak mendingan. Tahun kemarin sebelum lomba, penonton sudah ada di tengah, di tahun 2025 penonton berada di belakang pihak keamanan,” jelasnya.
Walau begitu, Jaka menyayangkan masih banyak penonton yang menggunakan perahu dan speedboat di sungai. Menurutnya, pemerintah dan panitia perlu berupaya menyadarkan warga Palembang khususnya Sumsel, agar tidak menonton langsung dari atas perahu.
“Boleh menonton (di sungai) tapi tambatkan perahu di pinggir,” ungkapnya.
Bagi Jaka, menonton di pinggir sungai justru memberi kesempatan kepada peserta untuk menjaga keamanan mereka saat berlomba. Keseimbangan laju perahu bisa membuat peserta bertanding secara maksimal.
Jaka hanya ingin berlomba dengan tenang tanpa gangguan ombak maupun penonton yang tidak berkepentingan.
“Kalau bidar bisa melaju dengan bagus, masyarakat bisa menikmatinya. Bidar ini sangat menarik ditonton. Saat atlet mendayung, itu akan terlihat, rapi dan bagus,” jelasnya.
“Apalagi saat saling kejar-kejaran, itu enak dilihat. Boro-boro kami bisa mendayung yang bagus kalau perahu ketek dan speedboat penonton berseliweran,” sambungnya.
Penonton Lomba Bidar di Sungai Musi Jadi Kendala
Pemkot Palembang mengaku telah berupaya secara maksimal untuk menyukseskan Festival Perahu Bidar Tradisional 2025. Kesiapan matang menjadi tantangan dalam mempersiapkan tradisi turun-temurun ini.
Kecelakan yang dialami Jaka dan timnya meninggalkan trauma yang harus disembuhkan, serta keramaian di jalur sungai harus diperbaiki. Dua persoalan inilah yang dibahas tuntas sebagai bahan evaluasi pemerintah.
Wali Kota (Wako) Palembang Ratu Dewa mengakui area lomba perahu bidar tahun 2025 masih belum sepenuhnya steril.
“Ada beberapa yang akan kita evaluasi lagi, terkait supaya (area lomba) lebih steril ke depannya,” ungkap Ratu Dewa usai perlombaan, Minggu (17/8/2025).
Sebelum perlombaan, Ratu Dewa cukup yakin dengan strategi keamanan bisa menciptakan ketertiban dan kenyamanan. Keyakinan itu rupanya tidak sepenuhnya berbuah manis.
Perahu yang tidak berkepentingan masih memadati Sungai Musi, terutama ketika peserta bidar tengah beradu kecepatan. Sejumlah perahu bahkan mengiringi dari belakang peserta lomba.
Saat laga final, kepadatan semakin menjadi-jadi. Penonton yang menggunakan perahu tampak mengabaikan imbauan dari petugas patroli. Teriakan personel terdengar hingga pinggir Sungai Musi.
Bahkan, speedboat petugas terus berulang kali menghalangi perahu penonton. Lambaian tangan aparat yang meminta penonton menepi seolah hanya jadi angin lalu. Banyak penonton tetap bersikeras mengiringi perahu peserta yang sedang bertanding.
Alhasil, perahu kembali berhamburan di Sungai Musi setelah peserta lomba menyentuh garis finis. Suasana ramai yang terjadi pada tahun lalu terulang kembali.
Upaya Pemerintah Kota Palembang Ciptakan Ruang Aman
Petugas di darat menjaga keamanan di sekitar panggung yang dikelilingi pagar pembatas berwarna hitam. Sementara di perairan, terdapat perahu khusus dari Badan SAR Nasional (Basarnas), Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) dan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Palembang.
Perahu yang patroli di sungai bersiaga dari garis start hingga finish. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya keramaian di sungai akibat perahu penonton.
Direktur Polair Polda Sumsel Kombes Pol Sonny Mahar Budi Adityawan menjelaskan, karakteristik Sungai Musi dipengaruhi oleh cuaca, siklus pasang surut dan ombak dari perahu di sekitarnya.
Ketiga hal itu menjadi pertimbangan pola pengamanan Lomba Festival Bidar 2025. Selain itu, transportasi tongkang batu bara yang beroperasi setiap hari turut masuk catatan evaluasi.
Polairud melakukan koordinasi dengan instansi terkait yakni Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP). Ia meminta penghentian operasional perahu tongkang selama dua hingga tiga hari.
Keputusan tersebut dilakukan berdasarkan hasil evaluasi insiden tahun lalu yang mengizinkan tongkang bersandar di pinggir sungai. Akibatnya, salah satu bidar terhempas ombak dan menabrak tongkang batu baru.
Tahun ini, tongkang tidak boleh bersandar di jalur lomba, mulai dari Jembatan Ampera hingga Jembatan Musi VI Palembang. Setelah koordinasi dengan KSOP, pengamanan sungai bekerjasama dengan Lanal Palembang.
Hasil dari penyelarasan strategi memutuskan untuk menurunkan sejumlah personel yang bersiaga di pesisir sungai. Petugas terdiri dari 75 orang Polairud, 30 orang tim Polrestabes Palembang, 20 orang Lanal Palembang, dan 40 orang Dinas Perhubungan (Dishub) Palembang.
“Ini sebenarnya sudah cukup, dilengkapi juga dengan sarana lain. Ada perahu kapal yang mengawal penonton serta suporter yang mendampingi,” jelas Kombes Sonny saat ditemui di Mako Polair Sumsel, Selasa (9/9/2025).
Kemudian, dibuat aturan khusus untuk peserta lomba dan tim yang mendampingi. Pada saat lomba berlangsung mereka tidak boleh melakukan pendampingan dengan perahu. Pihak yang diperbolehkan hanya tim fotografi atau media yang mengabadikan lomba.
Selayaknya angin lalu, aturan itu dihiraukan. Sejumlah masyarakat yang belum mendengar sosialisasi tetap melakukan aktivitas rutin di sungai. Bahkan banyak yang menggunakan perahu nelayan untuk menonton sambil mendampingi.
Menurut Kombes Sonny, lebar Sungai Musi dinilai sudah cukup untuk melangsungkan perlombaan saat babak penyisihan dengan jumlah empat perahu. Namun, sisi kanan dan kiri sangat dipenuhi penonton, suporter yang mendampingi, hingga panitia lain.
Aktivitas perahu di samping kanan dan kiri sungai sangat berpengaruh pada ombak. Peserta tidak bisa mendayung dengan maksimal seperti saat latihan. Hal itu dipengaruhi oleh hempasan ombak sehingga membuat dayungan bidar kurang maksimal.
Polairud mengaku telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Karena di sini selain transportasi batu bara, ada juga yang perahu tradisional dari rakyat yang beraktivitas sehari-hari maupun penyedia jasa sewa.
Mereka pun menyarankan untuk mengganti lokasi lomba di area sungai yang minim ombak, misalnya di Sungai Lematang. Karena aspek historis Jembatan Ampera dan BKB, panitia tidak mempertimbangkan saran tersebut dan tetap melangsungkan lomba di jalur seperti biasa.
“Di Lematang itu transportasi masyarakat atau tongkang yang mondar-mandir sedikit, tapi takutnya nanti tidak ada yang menonton. Sebab jaraknya jauh dari Kota Palembang,” jelasnya.
Sebagai bahan evaluasi untuk pelaksanaan pengamanan bidar 2026, Kombes Sonny mengatakan ada banyak yang harus dimatangkan. Langkah pertama yakni mengoptimalkan sosialisasi. Terutama kepada masyarakat yang belum mendengar atau mengetahui tentang jalur steril.
Evaluasi kedua yakni berkoordinasi dengan panitia penyelenggara. Ia menginginkan adanya ketegasan untuk suporter atau tim official agar tidak berada di lokasi perlombaan.
Langkah terakhir yakni mengoptimalkan pengamanan dengan cara menambah sarana kapal, mendampingi peserta yang melaju, serta bersiaga di titik tertentu untuk mengawasi penonton.
Bahan evaluasi tersebut harus direalisasikan agar kesempatan bidar eksis di mata dunia terbuka lebar. Selain itu, Polairud juga menyarankan penambahan peserta lomba yang tidak berasal hanya dari masyarakat lokal.
“Saran kami agar perahu bidar lebih mendunia, mungkin dari peserta dulu. Pesertanya jangan dibatasi dari Sumsel saja. Mungkin bisa meluas se-Sumatera. Ini akan lebih ramai dan semarak, serta berdampak pada perekonomian Sumsel,” katanya.
Pengamanan Penonton dan Jalur Lomba Bidar di Sungai Musi
Penonton yang datang dari anak-anak hingga orang tua, rela bercucuran keringat untuk melihat pendayung beradu pacu.
Melihat kondisi gegap gempita perayaan tersebut, pengamat sosial, Dr. Eni Murdiati, M.Hum, menilai ada satu hal yang terus disuarakan oleh peserta lomba; ruang gerak yang kian terbatas. Menurutnya, ribuan orang terancam oleh kerumunan penonton yang terlalu dekat dengan jalur perahu. Itu bukan hanya sekadar teknis, melainkan menyentuh soal kesadaran bersama.
“Festival Bidar bukan hanya soal siapa yang tercepat di air, tapi tentang bagaimana masyarakat menyatu dalam tradisi yang telah diwariskan lintas generasi,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (16/9/2025).
Dari segi kacamata budaya, tepian sungai adalah ruang sakral. Di sana masyarakat merayakan kebersamaan dan menyambut tim-tim dayung yang melaju pesat penuh. Namun, seiring waktu, batas antara antusiasme dan potensi budaya menjadi tidak terlihat.
Penonton yang terlalu dekat dengan arena lomba bukan hanya mengganggu, tapi juga mengancam keselamatan, baik bagi peserta maupun penonton itu sendiri.
Dr. Eni menekankan pentingnya membangun kesadaran kolektif bahwa menjaga ruang tidak berarti menjauh dari tradisi. Itu bisa menjadi bagian dari menghormatinya.
“Kita harus menanamkan bahwa menghormati peserta adalah bagian dari merawat nilai budaya itu sendiri. Jika tepian sungai dibiarkan tanpa pengaturan, kita sedang mempertaruhkan makna luhur yang ada dalam perayaan ini,” ujarnya.
Ruang aman dan nyaman bisa tercipta dalam festival bidar, tetapi tidak cukup dengan imbauan saja. Perlu keterlibatan banyak pihak, mulai dari pemerintah daerah, panitia pelaksana, tokoh masyarakat, hingga komunitas lokal.
Semua pihak ini menghadirkan regulasi yang adil dan edukasi sosial budaya yang menyentuh hingga ke akar rumput. Salah satu usulan konkret yakni pembatas fisik di area lomba, zona penonton yang lebih tertib, serta relawan lokal yang bertugas menjaga keamanan. Ini bisa menjadi langkah awal menciptakan ruang aman dan nyaman saat menonton lomba bidar.
Dr. Eni berujar, yang dibutuhkan adalah rasa memiliki yang bijak, kesadaran bahwa menjadi bagian dari tradisi tidak berarti hadir secara fisik saja, tetapi sikap yang menjaga dan menghormati.
“Jika tidak ada kesadaran bersama, festival bisa kehilangan esensinya. Ia berubah dari perayaan budaya yang luhur menjadi tontonan yang rawan risiko. Dan itu bukan warisan yang ingin kita teruskan,” katanya.
Terkait kenyamanan penonton di darat, lanjutnya, perlu adanya kesadaran sosial bagi penyelenggara, anggaran yang memadai, dan keterlibatan komunitas lokal. Hal paling penting dari itu semua adalah konsep acara yang matang seperti menyiapkan ruang aman dan nyaman, tata letak lokasi, dan Standar Operasional Prosedur (SOP).
“Semua unsur terkait perlu dilibatkan. Ibaratnya sama seperti membuat lapangan sepak bola bertaraf internasional, dan semua itu butuh perencanaan yang matang,” ungkapnya.
Semua pihak yang terlibat, mulai dari yang berjabatan hingga warga sipil, memiliki kewajiban untuk menyadarkan masyarakat agar menonton sesuai aturan. Tujuannya agar ruang aman dan nyaman bisa tercipta, dan tradisi ini terus terjaga.
Ketika budaya dirayakan bersama, ia tumbuh. Tapi ketika dirayakan tanpa kendali, ia bisa terluka.
“Festival Bidar adalah warisan, dan seperti semua warisan, ia perlu dijaga. Bukan hanya oleh mereka yang mendayung, tapi juga oleh kita yang menontonnya dari tepian,” ujarnya.