Curhat Pemilik Lahan yang Tanahnya Digusur PTBA Tanpa Ganti Rugi

Posted on

Penggusuran lahan warga yang diklaim PT Bukit Asam untuk pembangunan proyek Coal Handling Facility (CHF) TLS 6 & 7 di Desa Darmo, Kecamatan Lawang Kidul Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, masih terus dilakukan.

Sejumlah pemilik lahan mengaku kecewa karena kesepakatan penghentian penggusuran dilanggar perusahaan tambang tersebut.

“Saya sangat kecewa kepada PTBA dan tim lapangan karena menganggap remeh atau sebelah mata pada masyarakat. Mereka mengabaikan kesepakatan yang sudah dibuat, baik itu kesepakatan di lapangan atau di pertemuan antara masyarakat dan PTBA,” ujar salah satu warga pemilik lahan yang digusur, Novi Irawan, Sabtu (19/7/2025).

Hingga saat ini, pihaknya belum mendapat kesepakatan untuk pembebasan lahan. Sehingga, penggusuran terhadap lahan seharusnya tak bisa dilakukan sepihak.

“Besar harapan saya untuk menyelesaikan permasalahan ini sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia,” katanya.

Dia menjelaskan, lahan miliknya yang ditanami karet, jengkol, petai, dan tanaman ramuan sudah dilakukan penggusuran sejak 30 Maret 2025. Padahal, pembebasan lahan belum dilakukan.

“Sempat ada kesepakatan dengan penanggung jawab lapangan dan membuat berita acara untuk penghentian aktivitas penggusuran dan tidak melakukan aktivitas tersebut sebelum ada kesepakatan antara PTBA dan masyarakat pada saat itu,” katanya.

Namun, kesepakatan itu dilanggar. Pada 14 Juli terjadi kembali penggusuran dan bisa dihentikan melalui kesepakatan ulang. Meski tak dilakukan penggusuran di lahan miliknya, pada esok harinya penggusuran bergeser ke lahan warga yang lain.

“Nah kemarin tanggal 17 dan 18 Juli kembali lagi terulang melakukan penggusuran di lahan saya,” terangnya.

“Sampai hari ini saya belum melakukan tindakan apa-apa sesuai arahan dari tim kuasa hukum kami. Walaupun mereka mengklaim lahan tersebut masuk ke dalam kawasan hutan industri tetapi mereka harus menghormati hak pemilik lahan yang sudah turun temurun berkebun untuk menyambung hidup. Dan keseluruhan lahan kami belum pernah diperjualbelikan kepada perusahaan mana pun,” jelasnya.

Diberitakan sebelumnya, ratusan warga Desa Darmo, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, memprotes lahan mereka digusur oleh PT Bukit Asam (PTBA). Perusahaan tambang tersebut diduga menggusur kebun warga untuk pembangunan proyek Coal Handling Facility (CHF) TLS 6 & 7 tanpa adanya penyelesaian hukum yang jelas dan tanpa memberikan ganti rugi.

Kuasa hukum dari 262 warga Desa Darmo, Conie Pania Putri mengatakan persoalan ini sudah berlangsung sejak tahun 2022. Padahal, kata dia, lahan yang dipermasalahkan sudah dikelola warga secara turun-temurun dan menjadi sumber penghidupan utama, seperti kebun karet yang masih produktif hingga kini.

Menurut Conie, masyarakat sama sekali tidak tahu bahwa lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan atau milik negara. Tidak pernah ada sosialisasi atau ajakan diskusi dari pemerintah kepada warga dalam proses penetapan status kawasan itu.

“Kalau merujuk pada Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, penetapan kawasan hutan harus melalui berbagai proses dan melibatkan masyarakat, prosesnya juga panjang. Namun, warga Desa Darmo merasa tidak pernah dilibatkan, juga tidak pernah ada sosialisasi tentang kawasan hutan ini,” katanya kepada infoSumbagsel, Rabu (16/7/2025).

Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PTBA Niko Chandra mengatakan terkait dengan penyiapan lahan pembangunan Coal Handling Facility dan Train Loading Station (CHF TLS) 6 dan 7 di area Banko Tengah, Muara Enim, Sumatera Selatan, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) senantiasa menjunjung tinggi kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menghormati hak-hak masyarakat di sekitar aktivitas operasional perusahaan, termasuk dalam penyelesaian hak atas tanah.

“Lahan yang digunakan untuk mendukung pembangunan CHF TLS 6 dan 7 berada dalam kawasan hutan produksi tetap milik negara yang saat ini telah menjadi area Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) Banko Tengah PTBA sejak tahun 2019,” kata dia.

“Izin tersebut diberikan kepada PTBA sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yang mana lahan tersebut berstatus sebagai Tanah Negara dan penggunaannya telah memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang. Saat proses land clearing di area proyek, perusahaan mendapatkan pendampingan oleh KPH Suban Jeriji sebagai pemangku kawasan hutan,” katanya.

Meskipun secara legal penggunaan lahan telah sesuai ketentuan yang berlaku, PTBA tetap mengedepankan kepedulian terhadap masyarakat melalui pendekatan yang mengedepankan dialog konstruktif, kolaboratif, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keberlanjutan.

“Kami percaya bahwa sinergi dan komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar adalah kunci keberhasilan pembangunan Proyek TLS 6 dan 7, yang merupakan bagian dari upaya strategis dalam membuka akses logistik dan meningkatkan efisiensi rantai pasok batu bara,” kata dia.

Niko menyebut diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta memberikan kontribusi yang maksimal bagi pendapatan negara.

“Project ini juga untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik domestik dan ekspor, sekaligus berkontribusi pada ketahanan energi nasional,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *