Nama Payo Sigadung atau Pucuk telah lama dikenal sebagai lokalisasi terbesar di Kota Jambi. Pada tahun 2014, Pemerintah Kota Jambi telah menutup kawasan ini, meski kenyataan tempat itu tak benar-benar tutup, yang terjadi ialah kucing-kucingan aparat terhadap praktik prostitusi di sana.
Kini, upaya menghapus bersih praktik prostitusi di sana kembali diikhtiarkan. Selepas Asar, ibu-ibu dan mantan pekerja seks komersial (PSK) di Payo Sigadung RT 5 Kelurahan Rawasari, Kecamatan Alam Barajo, Kota Jambi, berbondong ke musala untuk yasinan rutin setiap Senin.
Langkah mereka begitu tenang menuju Musala Al-Arva yang berada di simpang sudut kampung padat tersebut. Itulah pemandangan baru yang terjadi di sana.
Sejak musala itu di bangun, kegiatan religi di Payo Sigadung kian aktif. Musala itu dibangun dari bekas bangunan bar yang dulu selalu sibuk sepanjang malam. Sepetak bangunan Musala menempel dengan rumah Wiwin, Ketua RT setempat, yang sengaja membangun musala itu untuk menuntun jalan iman perempuan mantan PSK dan anak-anaknya di sana.
Payo Sigadung yang sekarang sudah berbeda dari yang dulu, sebagian PSK telah meninggalkan pekerjaannya, sebagian lagi ada yang pindah dari sana. Mereka yang ingin berubah kini memulai hidup baru.
Putri (bukan nama sebenarnya) adalah salah satunya. Perempuan berusia 31 tahun itu telah meninggalkan pekerjaan lamanya itu. Dia merasa hidupnya kini lebih tenang setelah lepas dari bayang-bayang kehidupan malamnya itu.
“Sekarang saya sudah merasa lebih tenang. Dulu sebenarnya nggak nyaman juga, karena siang malam selalu berisik di sini,” cerita Putri kepada infoSumbagsel.
Putri merupakan perempuan berdarah sunda asal Jawa Barat. Dia bercerita pekerjaan melayani pria hidung belang sebenarnya dalam keterpaksaan atas tuntutan ekonomi. Putri hanya tamatan sekolah menengah pertama (SMP). Dia tak lanjut SMA, awalnya Putri sempat kerja menjadi buruh pabrik di kampung halamannya.
“Orang tua saya pisah dari saya kecil. Terus orang tua (ayah) stroke jadi harus biayain. Jadi ada tanggung jawab,” katanya.
Sebagai anak sulung, Putri memilih mengalah dan memutuskan bekerja di usia wajib belajarnya. Dia juga yang menanggung biaya 4 saudara kandungnya.
“Kita kerja di pabrik saat itu, ya, nggak cukup,” ujarnya.
Putri mengaku masuk dalam dunia PSK saat usianya 19 tahun. Ketika itu, temannya menawarkan kerja menjadi pemandu karaoke di Palembang, Sumatera Selatan. Saat itu, dia mengaku orang tuanya sempat tak memberi izin, namun dia tergiur iming-iming gaji yang besar.
“Ya udah kita bohongin, kita bilang ke Jakarta aja. Gajinya gede, keluarga kamu tercukupi nanti,” ungkap Putri menceritakan iming-iming temannya kala itu.
Putri mengawali masa kelamnya itu di Kampung Baru, Palembang. Hanya setahun, kemudian dia balik lagi ke kampung halaman. Namun, tawaran itu datang lagi ke dia dengan iming-iming yang sama. Dia diajak ke Jambi, nama kota yang dulu asing baginya.
Bertahan dari kekerasan, tekanan ekonomi, dan rasa kehilangan diri yang berkepanjangan, ia menghabiskan hampir satu dekade hidup dalam bayang-bayang sebagai pekerja tunasusila itu.
“Orang tua taunya kita kerja (di perusahaan), (sempat) merasa bersalah, tapi yang terpenting masih bisa bahagiain orang tua,” ucapnya.
Ketika Pemerintah Kota Jambi menutup kawasan lokalisasi Payo Sigadung, Putri salah satu yang terjaring. Penutupan itu dulu melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemberantasan Prostitusi di wilayah Kota Jambi.
Putri menjadi salah satu PSK yang dipulangkan ke kampung halamannya. Namun, itu tak lama. Dia kembali lagi ke Payo Sigadung dengan pekerjaan yang sama. Bahkan, dia saat ini telah menetap tinggal di Payo Sigadung.
Sejak saat itulah sebenarnya Payo Sigadung tak pernah benar-benar tutup. Terbukti beberapa kali razia yang dilakukan aparat pascapenutupan, masih ditemukan aktivitas di sana.
Namun, kini Putri kian mantap untuk meninggalkan pekerjaan PSK-nya. Dia juga berbalik mendukung penuh penutupan secara total Payo Sigadung. Meski dia kelimpungan untuk membiayai dua anak kembarnya, yang kini duduk di bangku sekolah dasar.
“Tutup total nggak papa, tapi dikasih pekerjaan yang lebih baik lagi mereka. Biar nggak kekurangan, kita masih punya tanggung jawab anak,” katanya.
Wiwin, Ketua RT 5 Rawasari, telah bertekad menghilangkan praktik prostitusi di kampung kelahirannya itu. Dia juga anak dari mantan muncikari terbesar di Payo Sigadung. Tekad Wiwin sederhana, dia bermimpi anak-anak dari Payo Sigadung punya masa depan yang cerah, tanpa stigma kelam di kampungnya.
“Saya tidak mau, anak-anak Pucuk ini mengalami apa yang saya rasakan dulu. Terlahir dengan kehilangan identitas diri sejak kecil, tidak tahu siapa orangtua kandungnya, dan hidup berdampingan dengan dunia kelam lokalisasi,” kata Wiwin.
Perlahan Payo Sigadung menunjukan perubahannya. Mula-mula, dibangun Musala Al-Arva pada 24 Februari 2024 lalu. Musala yang dibangun secara pribadi oleh Wiwin itu menjadi tempat belajar mengaji oleh 35 anak.
Selepas Magrib, anak-anak di sana belajar mulai mengenal huruf hijaiyah, membaca iqro, juz amma, hingga membaca Al-Quran. Guru mengajinya itu difasilitasi Wiwin termasuk honor bulannya.
Di luar kegiatan Rohani, berbagai aktivitas mulai menghidupkan Payo Sigadung. Misalnya, kegiatan bela diri tinju untuk anak-anak di sana dengan hadirnya sasana tinju. Pertengahan tahun 2025 lalu, kompetisi tinju juga telah digelar. Kegiatan budaya juga pernah digelar, yakni, dengan pertunjukan teater tradisional Dul Muluk.
Lebih jauh, pada 17 Juli 2025, Payo Sigadung mendapatkan juara dan penghargaan sebagai Kampung Tangguh Bebas dari Narkoba dari Mabes Polri. Cikal bakal dibentuknya kampung bebas dari narkoba ini dari penggerebekan emak-emak di sana terhadap basecamp narkoba pada 22 Juli 2023 lalu.
Kesadaran emak-emak ini membuka jalan perubahan Payo Sigadung. Bahkan dari penggerebekan itu, Bareskrim Polri berhasil menangkap bandar besar narkoba di Jambi, Helen, Tikui, dan kaki tanggannya.
“Kita di sini juga ingin berubah, nggak ada lagi prostitusi, narkoba. Bagi yang mau ikut (berubah) sama kami, ayo kita rangkul,” kata Wiwin.
Kata Wiwin, sejumlah PSK yang masih aktif sudah sebagian meninggalkan Payo Sigadung. Sejumlah rumah yang ditempati untuk aktivitas itu juga telah kosong. Tak ada lagi sayup-sayup perempuan yang memanggil dan berdiri di antara lorong-lorong di sana.
Sebagian rumah tampak sudah kosong, terdapat spanduk yang menujukkan rumah itu dijual dan disewakan.
“Perlahan-lahan memang jumlahnya (PSK) terus berkurang, mereka yang tidak tahan pindah sendiri,” ungkapnya.
Intevensi pemerintah daerah diperlukan pascapenutupan Payo Sigadung. Perempuan-perempuan mantan PSK itu perlu dukungan pekerjaan yang layak. Beberapa kali para PSK yang terjaring razia, lalu dibina di Dinsos Kota Jambi dan diserahkan ke pihak keluarga, kebanyakan dari mereka akan kembali.
Terbukti apa yang dialami Putri, seperti yang diceritakan di atas. Wiwin sebenarnya punya penawaran solusi. Dia ingin Payo Sigadung menjadi pusat kuliner.
Wiwin berharap pemerintah ikut andil dalam dukungan pelatihan dan bantuan nyata fasilitas kepada para mantan PSK tersebut.
“Kita sudah punya solusi, dan pemerintah hanya perlu hadir dan eksekusi, supaya perubahan Payo Sigadung itu semakin nyata,” kata Wiwin.
Bagi dia, Payo Sigadung harus terus hidup dengan berbagai aktivitas, agar pria-pria hidung belang ‘takut’ untuk ke sana. “Kita pernah bikin turnamen boxing, akhir tahun ini kita coba bikin lagi,” pungkasnya.
Payo Sigadung kini sedang menyempurnakan perubahannya. Bagi kampung ini, setiap langkah kecil perubahan adalah kemenangan.
Menjadi PSK Akibat Tuntutan Ekonomi
Mengubah Wajah Payo Sigadung
Perlu Intervensi Pemerintah


Ketika Pemerintah Kota Jambi menutup kawasan lokalisasi Payo Sigadung, Putri salah satu yang terjaring. Penutupan itu dulu melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemberantasan Prostitusi di wilayah Kota Jambi.
Putri menjadi salah satu PSK yang dipulangkan ke kampung halamannya. Namun, itu tak lama. Dia kembali lagi ke Payo Sigadung dengan pekerjaan yang sama. Bahkan, dia saat ini telah menetap tinggal di Payo Sigadung.
Sejak saat itulah sebenarnya Payo Sigadung tak pernah benar-benar tutup. Terbukti beberapa kali razia yang dilakukan aparat pascapenutupan, masih ditemukan aktivitas di sana.
Namun, kini Putri kian mantap untuk meninggalkan pekerjaan PSK-nya. Dia juga berbalik mendukung penuh penutupan secara total Payo Sigadung. Meski dia kelimpungan untuk membiayai dua anak kembarnya, yang kini duduk di bangku sekolah dasar.
“Tutup total nggak papa, tapi dikasih pekerjaan yang lebih baik lagi mereka. Biar nggak kekurangan, kita masih punya tanggung jawab anak,” katanya.
Wiwin, Ketua RT 5 Rawasari, telah bertekad menghilangkan praktik prostitusi di kampung kelahirannya itu. Dia juga anak dari mantan muncikari terbesar di Payo Sigadung. Tekad Wiwin sederhana, dia bermimpi anak-anak dari Payo Sigadung punya masa depan yang cerah, tanpa stigma kelam di kampungnya.
“Saya tidak mau, anak-anak Pucuk ini mengalami apa yang saya rasakan dulu. Terlahir dengan kehilangan identitas diri sejak kecil, tidak tahu siapa orangtua kandungnya, dan hidup berdampingan dengan dunia kelam lokalisasi,” kata Wiwin.
Perlahan Payo Sigadung menunjukan perubahannya. Mula-mula, dibangun Musala Al-Arva pada 24 Februari 2024 lalu. Musala yang dibangun secara pribadi oleh Wiwin itu menjadi tempat belajar mengaji oleh 35 anak.
Selepas Magrib, anak-anak di sana belajar mulai mengenal huruf hijaiyah, membaca iqro, juz amma, hingga membaca Al-Quran. Guru mengajinya itu difasilitasi Wiwin termasuk honor bulannya.
Di luar kegiatan Rohani, berbagai aktivitas mulai menghidupkan Payo Sigadung. Misalnya, kegiatan bela diri tinju untuk anak-anak di sana dengan hadirnya sasana tinju. Pertengahan tahun 2025 lalu, kompetisi tinju juga telah digelar. Kegiatan budaya juga pernah digelar, yakni, dengan pertunjukan teater tradisional Dul Muluk.
Lebih jauh, pada 17 Juli 2025, Payo Sigadung mendapatkan juara dan penghargaan sebagai Kampung Tangguh Bebas dari Narkoba dari Mabes Polri. Cikal bakal dibentuknya kampung bebas dari narkoba ini dari penggerebekan emak-emak di sana terhadap basecamp narkoba pada 22 Juli 2023 lalu.
Kesadaran emak-emak ini membuka jalan perubahan Payo Sigadung. Bahkan dari penggerebekan itu, Bareskrim Polri berhasil menangkap bandar besar narkoba di Jambi, Helen, Tikui, dan kaki tanggannya.
“Kita di sini juga ingin berubah, nggak ada lagi prostitusi, narkoba. Bagi yang mau ikut (berubah) sama kami, ayo kita rangkul,” kata Wiwin.
Kata Wiwin, sejumlah PSK yang masih aktif sudah sebagian meninggalkan Payo Sigadung. Sejumlah rumah yang ditempati untuk aktivitas itu juga telah kosong. Tak ada lagi sayup-sayup perempuan yang memanggil dan berdiri di antara lorong-lorong di sana.
Sebagian rumah tampak sudah kosong, terdapat spanduk yang menujukkan rumah itu dijual dan disewakan.
“Perlahan-lahan memang jumlahnya (PSK) terus berkurang, mereka yang tidak tahan pindah sendiri,” ungkapnya.
Intevensi pemerintah daerah diperlukan pascapenutupan Payo Sigadung. Perempuan-perempuan mantan PSK itu perlu dukungan pekerjaan yang layak. Beberapa kali para PSK yang terjaring razia, lalu dibina di Dinsos Kota Jambi dan diserahkan ke pihak keluarga, kebanyakan dari mereka akan kembali.
Terbukti apa yang dialami Putri, seperti yang diceritakan di atas. Wiwin sebenarnya punya penawaran solusi. Dia ingin Payo Sigadung menjadi pusat kuliner.
Wiwin berharap pemerintah ikut andil dalam dukungan pelatihan dan bantuan nyata fasilitas kepada para mantan PSK tersebut.
“Kita sudah punya solusi, dan pemerintah hanya perlu hadir dan eksekusi, supaya perubahan Payo Sigadung itu semakin nyata,” kata Wiwin.
Bagi dia, Payo Sigadung harus terus hidup dengan berbagai aktivitas, agar pria-pria hidung belang ‘takut’ untuk ke sana. “Kita pernah bikin turnamen boxing, akhir tahun ini kita coba bikin lagi,” pungkasnya.
Payo Sigadung kini sedang menyempurnakan perubahannya. Bagi kampung ini, setiap langkah kecil perubahan adalah kemenangan.
Mengubah Wajah Payo Sigadung
Perlu Intervensi Pemerintah

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.







