Indonesia ternyata kena tarif impor hingga 47% dari Amerika Serikat (AS) untuk produk-produk tertentu apabila masuk ke pasar AS. Hal ini diungkapkan langsung oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang memimpin delegasi Indonesia untuk negosiasi tarif tinggi dengan pemerintah AS.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mematok tarif tinggi untuk Indonesia senilai 32%. Ini merupakan kebijakan baru yang disebut Trump sebagai tarif resiprokal. Namun nyatanya, menurut Airlangga, masih ada tarif-tarif lain yang diterapkan AS untuk produk Indonesia sehingga jumlahnya jauh lebih tinggi.
Arilangga menjelaskan, sebagai contoh meskipun saat ini tarif tinggi sebesar 32% didiskon sementara menjadi 10% selama 3 bulan. Namun, AS tetap menerapkan tarif proteksionis untuk barang-barang tekstil dan garmen asal Indonesia dengan nilai sebesar 10-37%.
Artinya, sambung Airlangga, bila diakumulasi komoditas asal Indonesia memiliki biaya besar untuk masuk ke pasar AS. Sebab untuk membayar tarifnya saja bisa berkisar 20-47% sendiri.
“Meski saat ini tarif 10% untuk 90 hari, di tekstil, garmen, ini kan sudah ada tarif 10-37% maka 10% tambahan bisa 10+10 atau 37+10. Ini concern kita karena ekspor kita biayanya lebih tinggi, karena ini di-sharing kepada pembeli dan juga ke Indonesia sebagai pengirim,” papar Airlangga dalam konferensi pers virtual, Jumat kemarin.
Menurut Airlangga, tarif-tarif yang diterapkan AS untuk produk Indonesia jumlahnya jauh lebih tinggi daripada negara pesaing Indonesia yang lain. Indonesia menilai hal ini tidak adil.
Tarif super tinggi itu membuat produk Indonesia kalah saing dari negara pesaing di Asia Tenggara, Asia, bahkan dunia. Sebab banyak negara lain mendapatkan tarif lebih rendah dari itu. Indonesia ingin adanya keadilan dengan mendapatkan tarif yang sama atau bahkan lebih kecil.
“Kami tegaskan bahwa selama ini yang tarif tidak level playing field diterapkan AS, termasuk dengan negara pesaing kita di ASEAN bisa diberikan adil, dan kita ingin diberikan tarif yang tidak lebih tinggi,” kata Airlangga.