Bioskop Gelora yang kini menjadi sebuah tempat rumah makan dulunya merupakan bioskop pertama yang ada di kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan saat jaman kolonial Belanda. Bioskop ini pun menjadi salah satu saksi berkembangnya dunia modernisasi pada awal abad ke-20 di Lubuklinggau.
Gedung Bioskop Gelora sendiri berada di Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Jawa Kanan SS, Kecamatan Lubuklinggau Timur I, Lubuklinggau, Sumatera Selatan.
Saat ini, gedung bersejarah tersebut sudah disewakan kepada rumah makan padang dan restoran sate. Meskipun bagian belakang gedung tersebut sudah roboh, namun bagian depan gedung masih utuh serta bentuknya tidak dirubah seperti tulisan ‘Eng Aan Theatre’ dan angka 1938 masih ada di bagian depan gedung tersebut.
Salah satu warga lokal yakni Fatimah (53) menceritakan pada tahun 1980-an, Bioskop Gelora merupakan tempat favorit warga untuk menghabiskan waktu bersama keluarga serta teman-teman.
“Dulu ramai terus dikunjungi, apalagi kalau pas malam minggu dan saat Lebaran. Di samping gedung itu banyak berjejer jualan makanan kaki lima, jadi pas penonton itu keluar bioskop lewat belakang gedung, mereka nanti jalan lewat samping dan tinggal milih mau makan apa,” katanya saat dikonfirmasi infoSumbagsel, Minggu (28/9/2025).
Fatimah mengungkapkan saat itu, pihak Bioskop Gelora akan membagikan selembaran terkait film yang akan mereka putar nanti. Tak hanya batas situ, mereka juga mengelilingi kota menggunakan becak sambil memberitahukan film yang akan diputar di Bioskop Gelora nanti.
“Jadi mereka make becak sambil ngajak warga untuk datang ke bioskop menggunakan pengeras suara. Jadi sambil ngajak itu mereka ngasih tau film apa yang bakal tayang nanti. Pas tayang itu baru dibentangin spanduk filmnya di samping gedung tempat jual tiketnya,” jelasnya.
Fatimah mengatakan jaman tersebut Bioskop Gelora merupakan tempat ikonik yang ada di Lubuklinggau dan menjadi salah satu destinasi yang paling sering dikunjungi saat liburan.
“Banyak film yang diputar di situ, ada film Indonesia kayak Warkop DKI dan macam-macam film India. Kalau pas Lebaran itu biasanya yang diputar itu film Rhoma Irama. Pokoknya kalau lagi liburan rame terus,” bebernya.
Untuk nilai sejarahnya sendiri, Pemandu Museum Subkoss Lubuklinggau Berlian Susetyo menjelaskan Bioskop Gelora merupakan salah satu warisan kolonial Belanda di Lubuklinggau
“Pembangunan gedung ini dimulai pada tahun 1935 oleh seorang pengusaha bioskop keturunan Tionghoa yakni Eng Aan dan bioskop itu pun akhirnya diresmikan pada tahun 1938, itulah kenapa di depan gedung tersebut bertuliskan ‘Eng Aan Theatre – 1938’ yang masih menjadi penanda otentik fungsi dan masa pendiriannya,” jelasnya.
“Penggunaan istilah ‘theatre’ sendiri mencerminkan fungsi ruang yang bersifat multifungsi. Jadi tidak hanya untuk pemutaran film saja, tetapi juga sebagai tempat pertunjukan lain sesuai dengan konsep bioskop awal abad ke-20 di Hindia Belanda,” sambungnya.
Dari aspek arsitektur, Berlin mengatakan Eng Aan Theatre menunjukkan pengaruh gaya kolonial modern dengan sentuhan De Stijl (salah satu seni modern Belanda). Elemen yang menonjol dalam gedung tersebut antara lain atap pelana memanjang ke belakang, ketiadaan teras, serta dormer pada bagian atap yang berfungsi sebagai ventilasi udara.
“Tampilan depan bangunan menampilkan kanopi datar berbentuk persegi panjang dengan profil dinding sederhana khas arsitektur kolonial awal abad ke-20 yang menekankan fungsionalitas dan kesederhanaan estetika. Arsitektur ini sekaligus menjadi representasi bagaimana seni bangunan digunakan untuk menegaskan identitas kota kolonial,” ucapnya.
Secara historis, kata Berlian, pemutaran film di Hindia Belanda (Indonesia) pertama kali berlangsung pada awal 1900-an di Batavia yang kemudian berkembang pesat ke kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung, dan Medan, sebelum akhirnya merambah kota lapis kedua.
“Lubuklinggau menjadi bagian dari gelombang modernitas tersebut melalui berdirinya Eng Aan Theatre. Fenomena ini juga memperlihatkan peran signifikan dari komunitas Tionghoa dalam industri hiburan kolonial, mengingat banyak bioskop di berbagai daerah didirikan dan dikelola oleh kelompok tersebut,” bebernya.
Berlian menceritakan dalam rangka peresmiannya, diselenggarakan pasar malam selama satu bulan di tanah lapang yang berlokasi di seberang gedung bioskop.
“Peristiwa ini menunjukkan bahwa sejak awal bioskop bukan hanya sekadar sarana hiburan, melainkan juga medium sosialisasi kebudayaan modern bagi masyarakat,” ujarnya.
“Pada periode tersebut pula, Lubuklinggau telah berkembang menjadi pusat administratif dengan status sebagai Ibu Kota ‘Onder Afdeeling Moesi Oeloe’ sehingga keberadaan bioskop mempertegas posisinya dalam jaringan kota kolonial,” sambungnya.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Namun seiringnya perkembangan zaman, bioskop ini pun mulai dilupakan sejak maraknya teknologi VCD dan TV Digital (Parabola) di Kota Lubuklinggau sehingga bioskop legendaris itu pun akhirnya stop beroperasi dan sempat rubuh dibagian belakang gedung yakni ruang studionya akibat kurangnya perawatan.
“Pada masa kini, gedung tersebut tidak lagi difungsikan sebagai bioskop dan dialihfungsikan menjadi rumah makan dan tempat usaha lain. Namun bagian depan gedung bertuliskan ‘Eng Aan Theatre – 1938’ hingga saat ini masih tetap terjaga,” ungkapnya.
Dengan demikian, ia mengatakan gedung tersebut tidak hanya menyimpan nilai arsitektural, tetapi juga memuat nilai historis yang berhubungan dengan transformasi sosial-budaya masyarakat Lubuklinggau.
“Keberadaannya memperlihatkan bagaimana ruang hiburan kolonial dapat bertransformasi menjadi warisan budaya, sekaligus membuka peluang bagi upaya pelestarian sebagai bagian dari identitas kota pusaka,” tuturnya.
Berlian menceritakan dalam rangka peresmiannya, diselenggarakan pasar malam selama satu bulan di tanah lapang yang berlokasi di seberang gedung bioskop.
“Peristiwa ini menunjukkan bahwa sejak awal bioskop bukan hanya sekadar sarana hiburan, melainkan juga medium sosialisasi kebudayaan modern bagi masyarakat,” ujarnya.
“Pada periode tersebut pula, Lubuklinggau telah berkembang menjadi pusat administratif dengan status sebagai Ibu Kota ‘Onder Afdeeling Moesi Oeloe’ sehingga keberadaan bioskop mempertegas posisinya dalam jaringan kota kolonial,” sambungnya.
Namun seiringnya perkembangan zaman, bioskop ini pun mulai dilupakan sejak maraknya teknologi VCD dan TV Digital (Parabola) di Kota Lubuklinggau sehingga bioskop legendaris itu pun akhirnya stop beroperasi dan sempat rubuh dibagian belakang gedung yakni ruang studionya akibat kurangnya perawatan.
“Pada masa kini, gedung tersebut tidak lagi difungsikan sebagai bioskop dan dialihfungsikan menjadi rumah makan dan tempat usaha lain. Namun bagian depan gedung bertuliskan ‘Eng Aan Theatre – 1938’ hingga saat ini masih tetap terjaga,” ungkapnya.
Dengan demikian, ia mengatakan gedung tersebut tidak hanya menyimpan nilai arsitektural, tetapi juga memuat nilai historis yang berhubungan dengan transformasi sosial-budaya masyarakat Lubuklinggau.
“Keberadaannya memperlihatkan bagaimana ruang hiburan kolonial dapat bertransformasi menjadi warisan budaya, sekaligus membuka peluang bagi upaya pelestarian sebagai bagian dari identitas kota pusaka,” tuturnya.