Santri di Jambi Bertani Wujudkan Ketahanan Pangan Pesantren

Posted on

Selepas kajian agama, tiga santriwati Pondok Pesantren Al-Mutaqqin di Desa Ibru, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, memanen perdana melon Inthanon. Melon yang ditanam di greenhouse halaman pesantren ini merupakan pondasi ketahanan pangan pesantren tersebut.

Mereka masing-masing menenteng keranjang sambil memilih melon yang sudah siap panen. Ada pula yang sambil memotong daun layu dan cabang baru agar nutrisi buah tetap terjaga.

Ada 900 batang melon yang ditanam dalam polybag greenhouse pesantren ini. Di sela pembelajaran agama, para santri, guru, dan alumni bekerja di green house, merawat dengan tekun tanaman melon premium ini. Mulai dari penanaman, polinasi, dan pemantauan dari serangan hama.

“Untuk perdana ini sudah bisa kita katakan sukses, bobot buahnya 1-1,2 kilogram, untuk tahap awal sudah sangat maksimal,” kata Tirto, guru dan alumni Pesantren Al-Muttaqin yang bekerja merawat green house.

Para santri ini merupakan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Asy’ariah yang masih di bawah naungan Pondok Pesantren Al-Muttaqin. SMK Asy’ariah berdiri sejak 2013 merupakan sekolah kejuruan bidang pertanian dengan jurusan khusus agribisnis tanaman pertanian. Sejak 2018 pesantren ini telah mengembangkan wadah kewirausahaan di bidang pertanian dan peternakan.

Hal ini ditandai dengan didirikannya greenhouse, lahan praktik, dan sarana pertanian, sebagai lokomotif pendidikan di sekolah kejuruan tersebut. Bukan hanya mengaji dan belajar kitab kuning, para santri di sini juga akrab dengan cangkul, bibit tanaman, kolam ikan hingga kandang ternak. Mereka bersama para guru mengembangkan program ketahanan pangan di lingkungan pesantren.

Pimpinan Ponpes Al-Muttqin Gus Ya’qub Mubarak mengatakan pendirian SMK Pertanian ini berlangsung karena kepekaan kondisi sosial dan lingkungan pesantren. Lingkungan pesantren yang dikelilingi lahan kosong dan Perkebunan kemudian menginisiasi lahirnya konsep pertanian.

“Berangkat dari prinsip berani menerima, berani mengasih. Apa yang diterima, akan kembali dikasih atau yang berhak. Sehingga, kita mendirikan SMK Pertanian ini,” kata guru yang akrab disapa Gus Ya’qub.

Tak hanya greenhouse, pesantren ini memilik lahan pertanian terbuka (open field) seluas 10 hektare. Lahan ini ditanami berbagai tanaman seperti cabai, semangka, kacang, gambas, dan jagung. Selain di lahan kebun ditanami jambu air dan durian. Program ini tentunya didukung oleh bank sentral perwakilan Jambi, dan pemerintah desa.

Dari sektor perikanan, pesantren sudah bisa memanen sebulan sekali ikan dari 3 kolam di belakang asrama. Ada ikan patin dan lele yang dibudidaya dan telah menjadi konsumsi bulanan di pesantren. Tak jauh dari sana, kandang ayam petelur menjadi tempat belajar santri lainnya. Kambing-kambing yang sehat terawat juga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari para santri.

“Jadi, karena SMK-nya pertanian, para santri memang terdidik untuk Bertani, jadi jalannya lebih mudah,” ujar Gus Ya’qub.

Kehadiran greenhouse dan lahan terbuka yang dikelola mandiri ini berawal dari kondisi yang mengharuskan sekolah harus memenuhi kebutuhan praktik kerja siswa. Awal SMK berdiri, sebagian siswa masih melakukan magang di luar lingkungan, sehingga waktu pembelajaran agama ikut terbagi.

“Ketika keluar waktu terbagi, akhirnya kita berpikir lahan praktik yang kita punya sendiri sehingga lebih efisien waktu juya antara praktik dan pembelajaran agamanya. Dari situ berlanjut, dan terlihat ada potensi ekonomi,” ujarnya.

Pada 2018, siswa SMK sudah tak lagi keluar magang di luar lingkungan pesantren. Mereka memanfaatkan pengelolaan greenhouse, lahan terbuka, dan kandang peternakan yang dikelola khusus oleh pendamping yang juga merupakan alumni pesantren tersebut.

Gus Ya’qub menyebut sektor pertanian ini akan menjadi tonggak ketahanan pangan pesantren. Dia menargetkan pada tahun 2030, pesantren bisa mandiri untuk memenuhi kebutuhan pangan santri dan guru.

“Ke depan kita punya tujuan bisa efisiensi dana kebutuhan operasional pesantren, bisa tertekan dengan produksi yang kita hasilkan dari pertanian, atau minimal mengurangi,” ucapnya.

Konsep itu digagas dengan hadirnya Badan Usaha Milik Pesantren (BUMP), yang mengelola konsep bisnis pesantren. Adanya kepanganan mandiri ini terbukti dengan dapat menekan kebutuhan pengeluaran dana makan 500-an santri di sana.

“Intinya kebutuhan di dalam terpenuhi dulu, kalau ada lebih kita jual ke luar,” ujarnya.

Sejauh ini, Pesantren Al-Muttaqin sendiri sudah memasarkan hasil pertaniannya ke lingkungan luar pesantren. Pada tanaman cabai mereka telah memasok kebutuhan masyarakat desa Ibru dan Pasar Talang Gulo Kota Jambi.

“Kita sebelumnya pernah dapat 1,2 ton cabai merah satu kali siklus penanaman di green house. Dan 3,5 ton di open field. Kita pasok ke ke pasar atau bahkan ada yang menjemput,” katanya.

Sementara hasil pertanian lainnya, seperti melon, semangka, jambu air, baru dapat untuk dikonsumsi mandiri oleh para santri, guru, dan wali santri yang berkunjung setiap minggu.

Pasokan ke luar pesantren juga terjadi pada sektor perikanan. Ikan patin dan lele yang dibudidaya telah dijual ke sejumlah pasar.

“Kalau ikan untuk di kolam ikan itu paling 20 persen yang kita konsumsi, sisanya jual ke luar,” sebutnya.

Di sisi lain, Pesantren juga mengembangkan sektor pengelolaan hasil perikanan berupa makanan ringan. Pada ikan patin diproduksi menjadi abon, basreng, dan rengginang. “Kulitnya (ikan patin) itu dijemur menjadi kerupuk, tulangnya menjadi tambahan kerupuk,” jelasnya.

Konsep terintegrasi juga diterapkan pada sektor pertanian, perikanan, dan peternakan pesantren. Kotoran kambing misalnya, menjadi kompos untuk mengurangi penggunaan pupuk pada lahan pertanian terbuka. Begitu pula, pesantren bisa menghasilkan sendiri pangan untuk budidaya ikan patin dan lele.

Konsep pembelajaran di pesantren ini menjadi inspirasi karena tidak hanya menanamkan ilmu agama, tetapi juga membekali santri dengan pengetahuan praktis di bidang pertanian dan peternakan. Santri yang lulus diharapkan bisa menjadi agen perubahan di masyarakat, baik sebagai penggerak ekonomi maupun teladan kemandirian.

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi

Gus Ya’qub menyebut sektor pertanian ini akan menjadi tonggak ketahanan pangan pesantren. Dia menargetkan pada tahun 2030, pesantren bisa mandiri untuk memenuhi kebutuhan pangan santri dan guru.

“Ke depan kita punya tujuan bisa efisiensi dana kebutuhan operasional pesantren, bisa tertekan dengan produksi yang kita hasilkan dari pertanian, atau minimal mengurangi,” ucapnya.

Konsep itu digagas dengan hadirnya Badan Usaha Milik Pesantren (BUMP), yang mengelola konsep bisnis pesantren. Adanya kepanganan mandiri ini terbukti dengan dapat menekan kebutuhan pengeluaran dana makan 500-an santri di sana.

“Intinya kebutuhan di dalam terpenuhi dulu, kalau ada lebih kita jual ke luar,” ujarnya.

Sejauh ini, Pesantren Al-Muttaqin sendiri sudah memasarkan hasil pertaniannya ke lingkungan luar pesantren. Pada tanaman cabai mereka telah memasok kebutuhan masyarakat desa Ibru dan Pasar Talang Gulo Kota Jambi.

“Kita sebelumnya pernah dapat 1,2 ton cabai merah satu kali siklus penanaman di green house. Dan 3,5 ton di open field. Kita pasok ke ke pasar atau bahkan ada yang menjemput,” katanya.

Sementara hasil pertanian lainnya, seperti melon, semangka, jambu air, baru dapat untuk dikonsumsi mandiri oleh para santri, guru, dan wali santri yang berkunjung setiap minggu.

Pasokan ke luar pesantren juga terjadi pada sektor perikanan. Ikan patin dan lele yang dibudidaya telah dijual ke sejumlah pasar.

“Kalau ikan untuk di kolam ikan itu paling 20 persen yang kita konsumsi, sisanya jual ke luar,” sebutnya.

Di sisi lain, Pesantren juga mengembangkan sektor pengelolaan hasil perikanan berupa makanan ringan. Pada ikan patin diproduksi menjadi abon, basreng, dan rengginang. “Kulitnya (ikan patin) itu dijemur menjadi kerupuk, tulangnya menjadi tambahan kerupuk,” jelasnya.

Konsep terintegrasi juga diterapkan pada sektor pertanian, perikanan, dan peternakan pesantren. Kotoran kambing misalnya, menjadi kompos untuk mengurangi penggunaan pupuk pada lahan pertanian terbuka. Begitu pula, pesantren bisa menghasilkan sendiri pangan untuk budidaya ikan patin dan lele.

Konsep pembelajaran di pesantren ini menjadi inspirasi karena tidak hanya menanamkan ilmu agama, tetapi juga membekali santri dengan pengetahuan praktis di bidang pertanian dan peternakan. Santri yang lulus diharapkan bisa menjadi agen perubahan di masyarakat, baik sebagai penggerak ekonomi maupun teladan kemandirian.

Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *