10 Teks Khutbah Idul Adha Lengkap Materi Kurban, Iman, hingga Haji

Posted on

Khutbah Idul Adha merupakan sunah yang dianjurkan setelah pelaksanaan salat Id. Jemaah dianjurkan untuk tetap duduk dan mendengarkan khutbah yang dibacakan khatib hingga selesai.

Materi khutbah yang dipilih bisa berbagi jenis tema terbaru sepeti, tentang haji, kurban, atau ketakwaanseorang hamba di balik cerita pengorbanan Nabi Ibrahim AS. Tata cara melaksanakan khutbah sama seperti khutbah Jumat dengan beberapa tambahan seperti bacaan bilal dan kumandang takbir.

Berikut ini kumpulan contoh teks khutbah Idul Adha 2025 yang berisi pesan penuh makna tentang hari raya kurban dan ibadah haji. Yuk dipilih tema yang sesuai.

الله أكبر ٩ لا إله الا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد الله أكبر كبيرا والحمد الله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلاً لا إله الا الله واحدهُ صَدَقَ وَعْدَهُ ونصر عبده و آخر جلده وهزم الأحزاب وحدَه إِنَّ الْحَمْدَ اللَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيتُهُ ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَدِهِ الله فلا مضل له وَمَنْ يُضْلِلْ فلا هادي له أشهد أن لا إله إلا اللهُ وَأَشْهَدُ أَن محمدًا عبده ورسوله. اللهم صل وسلم على محمد وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الديني أيها الناس إنا خلقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم الخبير. وقال رسول الله : واعْلَمُوا أَنْ أَمْوَالَكُمْ وَدِمَاءَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ هَذَا الْيَوْمِ فِي هَذَا الشَّهْرِ فِي هَذَا البلد (سنن الدارمي)

Bapak/Ibu/Sdr yang dimuliakan oleh Allah SWT. Mari kita sama-sama mengucapkan rasa syukur kita kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat, taufiq dan hidayahnya kepada kita semua pada pagi hari yang berbahagia ini kita semua dapat berkumpul di tanah lapang ini dalam keadaan sehat wal-afiat, jasmani dan rohani, dan hati kita penuh diliputi rasa iman dan Islam.

Shalawat dan salam mari senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, Nabi akhir jaman, Uswatun khasanah seluruh semesta alam, dan semoga syafaatnya selalu tercurah kepada keluarganya, para sahabatnya, dan juga kepada kita semua para pengikutnya.

Hadirin, Jama’ah shalat Idul adha yang berbahagia Hari ini, jutaan umat Islam di seluruh dunia secara serempak dan bersama-sama sedang melaksanakan shalat idul adha. Mereka mengagungkan asma Allah dengan mengucapkan takbir, tasbih dan tahmid, mengagungkan, mentasbihkan, dan memanjatkan pujian hanya kepada Allah SWT.

Begitu pula dengan saudara-saudara kita yang saat ini menunaikan ibadah haji, mereka tida henti-hentinya mengagungkan asma Allah SWT, sebagai bentuk rasa ketundukan, kepasrahan dan ketawadlu’an seorang hamba kepada Allah SWT.
Ibadah haji adalah perintah Allah SWT bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan ekonomi dan kesehatan untuk menunaikannya.

Ibadah haji adalah ibadah seorang hamba yang langsung berhubungan dengan Allah SWT, karena itu ibadah haji adalah salah satu ibadah mahdhah. Hukum ibadah haji adalah wajib bagi yang mampu dan dilaksanakan setiap bulan dhulhijjah pada setiap tahun. Terdorong oleh panggilan Allah SWT, maka sejak beberapa hari yang lalu hingga hari ini, jutaan umat Islam dari segala penjuru muka bumi berduyun-duyun, dari berbagai latar belakang, datang ke makkatul mukarromah untuk menunaikan ibadah haji, rukun Islam yang kelima.

Kewajiban menjalankan ibadah haji itu sebagaimana Allah menjelaskan dalam firman-Nya:

والله على الناس حج البيت من استطاع إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ عَلِيٌّ عَنِ الْعَلَمِينَ .

Artinya: “Mengerjakan haji adalalt krajihan manusia terhadap Allah, yaitu begi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari Raajihan haf, maka mala sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatupun) dari seluruh alam” (QS. Ali Imran: 97).

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menyatakan bahwa salah satu amalan yang paling utama adalah haji yang mabrur, sebagaimana sabdanya yang artinya:

“Rasulullah SAW pernah ditanya: Amul manakah yang paling utama?” Rasulullah SAW. menjawab: Iman kepada Allah dari Rasul-Nya.” Ditanya lagi Kemudian apa ? Rasulullah SAW bersabda: Jihad fi Sabilillah Kembali ditanyakan: “Kemudian apa? Rasulullah SAW bersabda: Haji yang mabrur.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadirin, Jama’ah shalat Idul adha yang berbahagia,

Meskipun demikian, ibadah haji merupakan ibadah yang sarat atau mengandung dimensi sosial yang tinggi. Ibadah haji, disamping sebagai bentuk ketundukan seorang muslim kepada Allah SWT, adalah juga sebagai bentuk perwujudan ukhuwah Islamiyah, persaudaraan sesama muslim.

Meskipun mereka datang dari berbagai tempat yang berbeda-beda, latar belakang yang tidak sama, status sosial dan ekonomi yang berbeda, akan tetapi mereka diikat oleh satu persamaan, yaitu persamaan iman dan akidah. Tuhan mereka adalah satu, yaitu Allah SWT, Nabi mereka satu yaitu Nabi Muhammad SAW, kitab pedoman mereka satu yaitu kitab suci Al-Qur’an.

Gambaran tentang persaudaraan sesama muslim dalam ibadah haji itulah yang juga semestinya kita contoh dan teladani dalam kehidupan sehari-hari. Kita tanamkan dalam diri kita bahwa kita ini semua bersaudara, laksana satu tubuh, jika satu tubuh sakit maka seluruh tubuh akan merasakannya, jika satu bagian tubuh terasa nikmat, maka nikmat itu juga dirasakan oleh seluruh bagian yang lainnya.

Perbedaan yang ada, apakah karena latar belakang etnis (suku), ekonomi, pemikiran dan pandangan, mahdzab, pilihan politik, hendaklah tidak membuat kita saling terpecah belah, bercerai berai atau saling bermusuhan. Jadikan perbedaan diantara kita itu sebagai wahana untuk saling isi mengisi dan tolong menolong.

Jika ada diantara kita yang lebih secara ekonomi, dapatlah digunakan untuk membantu yang kurang secara ekonomi, jika ada diantara kita yang lebih dari sisi keilmuan hendaklah mengajarkannya kepada yang belum tahu supaya semakin cerdas dan pandai, yang memiliki kekuasaan hendaklah digunakan untuk memberdayakan dan mencukupi kebutuhan masyarakat, kekuasaannya senantiasa digunakan untuk kemaslahatan umat atau kebaikan bersama.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara (QS.Al-Hujurat: 10).

Setiap muslim yang diikat oleh ikatan yang sama, yaitu ikatan iman kepada Allah SWT adalah bersaudara. Karena itu tidak sepantasnya saling bermusuhan dan mengolok-olok, saling mencela, dan saling merendahkan.

بنا الذين امنوا لا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا بناء من بناء على أن يكن خيرا منهن وَلَا تَلْمِرُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَرُوا بالألقب بلس الاسم الفسوق بعد الإِيمَانِي وَمَن لَّمْ يَنتِ فَأُولَتَيكَ هُمُ الظَّامون

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah satu kaum mengolok-olok kaum yang lain (arena) boleh jadi mereka (yang diperolok lebih baik dari mereka (yang mengolak-olok). Janganlah wanita-wanita mengolak-olak wanita yang lain, karena boleh jadi wanita yang diperolokkun itu lebih baik dari pada wanita yang memperulok, Janganlah kalian mencela diri kalian sendiri (maksudnya mencela sesame muslim). Janganlah kalian saling memanggil dengan gelar lar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan panggilan yang jelek jelek sesudah iman. Dan barang siapa tidak bertaubat, maka itulah orang-orang yang dzhalim.” (QS. Al-Hujurat: 11).

الله أكبر الله أكبر لا اله الا الله و الله أكبر الله أكبر و الله الحمد

Hadirin, Jama’ah shalat Idul Adha yang berbahagia

Jutaan jamaah haji yang melakukan wukuf di Arafah, semuanya menanggalkan pakaian kebesarannya, mereka datang dengan model pakaian yang sama, yaitu pakaian warna putih yang tidak berjahit. Pakaian yang kemudian disebut dengan pakaian ihram. Dengan pakaian seperti itu tidak kelihatan lagi atribut dan kebesaran keduniaan yang mereka sandang.

Seorang presiden dengan pakaian ihram tidak kelihatan lagi kepresidenanya, yang menteri tidak nampak lagi atribut kementeriannya, yang priyayi tidak lagi kelihatan sebagai priyayi, yang konglomerat tidak nampak lagi kekayannya, yang miskin demikian pula tidak nampak lagi kemiskinannya. Semuanya nampak sama, yang dilakukan juga sama yaitu sama-sama bertakbir, bertasbih, bertahmid dan memperbanyak dzikir kepada Allah SWT.

Inilah gambaran atau i’tibar kepada kita semua bahwa di mata dan dihadapan Allah SWT manusia adalah sama status dan derajatnya. Allah SWT melihat dan menempatkan kemuliaan manusia, bukan pada jabatan dan pangkatnya, bukan pada kekayaan yang dimilikinya, bukan kepada garis keturunan priyayinya, bukan pada kekuatan fisiknya, tetapi kepada nilai ketakwaannya kepada Allah SWT. Allah SWT menegaskan tentang hal ini dalam firman-Nya:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang orang yang bertakwa.”

Karena hanya ketakwaan kepada Allah SWT yang dapat menempatkan manusia sebagai makhluk yang mulia, maka tidak sepatutnya manusia berlaku sombong dan angkuh atau menganggap dirinya lebih dibandingkan dengan yang lainnya. Mereka yang kaya tidak akan menjadi mulia jika tidak bertakwa kepada Allah SWT.

Mereka yang menyandang pangkat dan jabatan dan dielu-elukan manusia tidak akan menjadi mulia jika tidak bertakwa, mereka yang berparas cantik dan tampan tidak akan menjadi mulia jika tidak bertakwa, mereka yang hidupnya sengsara, serba kekurangan dan kesusahan tidak akan menjadi mulia jika tidak bertakwa, pendek kata kemuliaan tidak akan didapatkan manusia dengan atribut keduniawian. Kemuliaan hanya akan diperoleh dan didapatkan manusia dengan beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, yaitu seseorang yang senantiasa taat dan tunduk kepada Allah azza wajalla,
mengerjakan semua perintah-perintah-Nya dan meninggalkan segala apa yang dilarang-Nya.

Karena itu, jangan pernah bermimpi mendapat kemuliaan di hadapan Allah SWT jika kita tidak beriman dan bertakwa. Wujud dari iman dan takwa itu adalah dengan memperbanyak ibadah, beramal shalih dan berakhlakul karimah.

الله أكبر الله أكبر لا اله الا الله و الله أكبر الله أكبر و الله الحمد

Hadirin, Jama’ah shalat Idul adha yang berbahagia

Sebagai rangkaian dari ibadah haji adalah ibadah kurban, yaitu memotong binatang ternak yang diniatkan untuk beribadah kepada Allah SWT. Sebagian daging kurban itu boleh dimakan oleh yang berkorban dan sebagian yang lain dibagikan kepada para fakir miskin dan saudara muslim yang lain. Ibadah kurban kita lakukan dengan belajar dari apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim. AS dan putranya Ismail AS.

Sejarah mencatatkan kepada kita semua bahwa Nabi Ibrahim melaksanakan kurban itu diniatkan dan didorong oleh keikhlasan pengabdian yang tulus hanya kepada Allah SWT.Mereka tidak segan-segan mengorbankan nyawa untuk membuktikan pengabdian dan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah SWT. Mereka menyadari, jika Allah SWT meminta kepada hambanya, maka apapun tidak ada artinya, tidak juga harta, tidak juga nyawa, kecuali hanya satu pilihan memenuhi panggilan-Nya.

Etos ibadah seperti inilah yang juga telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. Manusia utama pilihan Allah SWT ini nyata-nyata telah dijamin masuk surga oleh Allah SWT. Akan tetapi jaminan masuk surga itu, bukan kemudian mengendorkan semangat beribadahnya atau membuat Beliau bersantai-santai dalam beribadah.

Para sahabat terdekat Beliau selalu menyaksikan, bahwa manusia yang telah dijamin masuk surga ini lututnya seringkali terlihat bengkak-bengkak karena banyak bersujud melakukan shalat, perutnya tidak selalu kenyang karena banyak melakukan puasa, akhlaknya selalu menjadi cerminan bagi siapa saja yang melihat dan bergaul dengannya.

Coba kita bandingkan dengan ibadah kita dengan ibadah Rasulullah. Tentu sangat jauh, jauh sekali. Sementara tidak ada satupun yang bisa menjamin bahwa kita akan masuk surga. Karena itulah bagi mereka yang melaksanakan ibadah kurban, sesungguhnya bukan daging-daging kurban yang kita sembelih itu yang akan mencapai keridlaan Allah SWT. Bukan unta, sapi, kerbau atau kambing-kambing itu yang akan mengantarkan kita ke surga. Karena Allah SWT tidak memerlukan daging yang kita potong itu. Allah SWT hanya membutuhkan pengabdian yang tulus, ibadah yang ikhlas sebagaimana difirmankan dalam surat Al-Haj ayat 37:

لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَنَكُمْ وَبَيْرِ الْمُحْسِنِينَ )

Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah, tetapi ketakwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya.”

Hadirin, Jama’ah shalat Idul adha yang berbahagia

Akhirnya sebagai intisari dari khutbah ini, kita dapat menarik pelajaran bahwa syari’at ibadah haji dan kurban mengajarkan kepada kita dua keshalehan sekaligus, yaitu keshalehan individual dan keshalehan secara sosial.

Setiap kita sebagai seorang muslim senantiasa dituntut untuk memiliki keshalehan pribadi, yang wujud keshalehan pribadi itu adalah kita harus senantiasa beribadah kepada Allah SWT dengan melaksanakan shalat, puasa, zakat, berhaji bila mampu, memiliki akhlak yang terpuji menampilkan pribadi muslim yang baik dan menyenangkan. Namun demikian seorang muslim tidah hanya cukup shaleh secara pribadi, ia juga harus shaleh secara sosial.

Wujud dari keshalehan sosial itu adalah peduli dan suka menolong mereka yang membutuhkan, menjaga hubungan baik dengan sesama muslim, punya kesetiakawanan sosial yang tinggi. Karena itu bukan seorang muslim yang baik, jika ia shalat tetapi tidak pernah peduli dengan kesusahan saudara-saudaranya. Bukan pula seorang muslim yang baik, jika ia senantiasa membangun komunikasi kepada Allah SWT siang dan malam, tetapi tidak pernah mau membantu dan menolong serta peduli dengan permasalahan masyarakat.

Bukan seorang muslim yang utuh jika ia tidak memberikan manfaat bagi saudaranya yang lain. “Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi manusia lainnya,” begitulah Rasulullah SAW pernah bersabda, oleh karena itu marilah kita menjadi muslim yang kaffah (muslim yang utuh) dengan cara menampilkan diri kita menjadi pribadi yang shaleh secara individual juga shaleh secara sosial.

Akhirnya marilah kita berdoa kepada Allah SWT, semoga Allah menolong dan membantu mengarahkan kita menjadi pribadi muslim yang kaffah dan utuh.

بارك الله لي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ، وَتَفْعَنِي وَإِيَّاكُم بِمَا فِيهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحكيم، وتقبل الله مني ومنكم تلاوته، إنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ، وَاسْتَغْفِرُ الله لي ولكم أقولُ قَوْنٍ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيمَ

الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر
الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا الحمد لله الذي اعاد الأعياد وكرر. احمده سبحانه ان خلق وصور وأشهدا ن لا إله إلا الله وحده لا شريك له شهادة يثقل بيها الميزان في المحشر، واشهد ان محمدا رسول الله المبعوث إلى الأسود و الأحمر. اللهم فصل وسلم على سيدنا محمد وعلى الله واصحابه الفائزين بالشرف الأخر (اما بعد)، فيا عباد الله اتقوا الله فيما أمر وانتهوا عما نهى الله عنه وحد ر. واعلموا أن الله تعالى صلى على نبيه قديما.

فقال تعالى: إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين امنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد خير الخلق صاحب الوجه الأنوار وارض اللهم عن كل الصحابة أجمعين. وعن التابعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الاحياء منهم والاموات الك قريب مجيب الدعوات اللهم استر عيوبنا واكفنا ما اهمنا وقنا شر ما تتخوف ووفقنا ما نوينا من حوائج الدنيا والآخرة ربنا هب لنا ان ازواجا وذرياتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما بربنا اتنا في الله نيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار والحمد لله رب العالمين.

الله أكبر الله أكبر الله أكبر، الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر، لا إله الا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحَمْدُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي في ترض الحَج عَلَى عِبَادِهِ وَجَعَلَهُ اركان الإسلام ، احمدَهُ سُبْحَانَهُ وَهُوَ الْمَالِكُ الْعَلَامُ . وأَشْهَدُ أن لا إله الا الله وحده لاشريك له ذُو الْجَلَالِ وَ الكُرَامِ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ سَيد الأنام اللهُم صَلَّى وَسَلَّمْ وَبَارِكَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى اله وأصحابه ومن تبعهم في الأيمان والأسلام (امَّا بَعْدُ). فَيَا عِبَادَ اللهِ اتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُم مِن النقاء أَوصِيكُم وَ أَوْصِينِي وَأَيَّايَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ فقد قال الله تعلى فى القرآن الكريم، وَهُوَ أَصْدَقُ الْقَابِلِينَ، أَعُوذُ بِاللَّهِ مَنَ الشَّيْطَانِ الرَّحِيم، يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَمَتْ لِقَدٌ وَاتَّقُوا
اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ
فَوْزًا عَظِيمًا، يَتَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم
مُسْلِمُونَ

Maasyirah Muslimin wal Muslimat rahimakumullah

Pada hari ini, umat Islam merayakan hari raya idul adha atau hari raya idul kurban.
Dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia, sejarah kurban dibagi menjadi tiga, yaitu zaman Nabi Adam AS, zaman Nabi Ibrahim AS, dan pada zaman Nabi Muhammad, SAW. Pada zaman Nabi Adam kurban dilaksanakan oleh putra-putranya, Qabil dan Habil.

Saat itu sudah mulai ada perintah, siapa yang memiliki harta banyak maka sebagian hartanya dikeluarkan untuk kurban. Habil mengeluarkan kurban yang terbaik-ternak yang gemuk dan sehat-sedangkan Qabil melakukan sebaliknya. Sebagaimana yang termuat dalam al-quran:

“Ceritakan kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil), la berkata, ‘aku pasti membunuhmu! Berkata Habil sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Maidah :27).

Kisah kurban kedua adalah pada zaman Nabi Ibrahim AS, suatu peristiwa yang sangat monumental dan dramatis. Dimana seorang ayah (Ibrahim) karena keyakinan dan ketaatan terhadap sang Khalik (pencipta) bersedia, rela menyembelih dan mengorbankan nyawa anaknya yang sangat disayangi dan dicintainya. Demikian pula yang dilakukan sang anak (Ismail) karena keyakinan dan ketaatannya kepada sang Khalik (Pencipta) bersedia, bahkan rela dengan sepenuh hati untuk disembelih oleh ayahnya sendiri karena semata-mata memenuhi perintah Allah SWT.

Ujian Allah atas ketaatan Ibrahim dan Ismail tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut; Allah memerintahkan kepada Ibrahim untuk menyembelih Ismail putra yang amat dicintainya. Sehari sesudah mendapatkan mimpi itu, Nabi Ibrahim merenungkan mimpinya, apakah benar-benar datang dari Allah atau bukan. Karenanya hari itu disebut dengan Yaumut Tarwiyah, hari perenungan dan pemikiran.

Pada hari kedua, barulah ia yakin bahwa mimpi itu betul-betul dari Allah, sehingga hari itu disebut Yaumul Arafah, hari mendapatkan pengetahuan dengan sadar. Dan akhirnya pada hari ketiga, nabi Ibrahim mengambil keputusan dengan keyakinan bulat, yang hari itu dikenal sebagai Yaumun Nahr, yaitu hari pelaksanaan penyembelihan.

Ketika info-info pengorbanan yang dramatis itu akan berlangsung terjadilah dialog antara ayah dan anaknya yang sangat menggugah hati dan perasaan, sebagai contoh ketabahan dan kokohnya iman dan takwa mereka kepada Allah SWT:

فلما بلغ معه السعي قال ينبى إني أرى في الْمَنَامِ أَنِّي أَذْعَكَ فَانظُرْ مَاذَا ترى قَالَ يَتَأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُني إن شاء الله من الصبيرين

Artinya: “Maku tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama sama Ibrahim, Terahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahu aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah ape pendapatmul is menjawab: “Hai bapakos, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang subur”. (Ash-Shaffat: 102).

Begitu mengharukan proses pengorbanan itu, terlebih lagi ketika Ismail dengan penuh tawakkal memohon kepada ayahnya: “Wahai ayah! Ikatlah kaki dan tangan saya kuat-kuat agar gelepar tubuh saya tidak membuat ayah bimbang. Telungkupkanlah tubuh saya sehingga muka menghadap ketanah, supaya ayah tidak melihat wajah saya. Ayah! Jagalah darahku jangan sampai memerciki pakaian ayah karena bisa menyebabkan perasaan iba sehingga akan mengurangi pahala. Dan asahlah pisau itu tajam-tajam, agar penyembelihan berjalan lancar. Wahai ayah! Baju saya yang beriumur darah nanti bawalah pulang dan serahkan kepada ibu dan sampaikanlah salamku kepada ibu, semoga beliau bersabar menerima ujian ini.”

Setelah keduanya tawakkal, bersedia melakukan penyembelihan, dengan sepenuh hati melakukannya dalam rangka ketaatan kepada Allah, maka ternyata tidaklah penyembelihan Ismail sesungguhnya yang diharapkan Allah. Akan tetapi itu diperintahkan Allah dalam rangka menguji ketaatan nabi Ibrahim dan Ismail, sejauh mana ketaatan mereka kepada Allah sang Khalik (Pencipta). Allah berfirman dalam Surat ash-Shaffat ayat 103-110:

فلما أسلنا ولله الجبين، وناديناة أن يا إبراهيم. قد صدقت الرؤيا إنا كذلك تجري المحسنين . إن هذا لهو البلاء المبين، وَفَدَيْنَاهُ يذبح عظيم ، وتَرَكْنَا عَلَيْهِ في الآخرين – سلام على إبراهيم . كذلك تجري المحسنين

Artinya: “Tathala anduanya telah berdiri dalhin moringa anaknya atas pelipisnga), (nyatalah Amaburan kebanys). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi belasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

Setelah Ibrahim dan Ismail lulus dari ujian yang sangat berat tersebut, sebagai gantinya Allah SWT. Memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih binatang qurban. Maka sebagai tanda bersyukur beliau pada waktu yang tertentu secara kontinyu menyembelih hewan untuk ibadah qurban.

Pada zaman Nabi Muhammad SAW perintah qurban ditegaskan dalam al-quran surat Al-Kautsar ayat 1-3:

إنا أعطيتك الكوثر فصل لربك وانحرَ إِن شَائِقَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus”.
Demikian pula dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Ibnu Majah:

“Para sahabat bertanya kepada Rasulullah: apakah qurban itu? Nabi menjawab: itulah sunah yang dijalankan oleh bapak kalian Ibrahim. Mereka bertanya lagi: apa keuntungan qurban itu bagi kita? Nabi menjawab: pada tiap-tiap helai bulunya dihitung menjadi satu kebajikan”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Dalam rangka memperingati hari raya idul adha tahun ini ini, yang seharusnya kita lakukan adalah meninjau kembali apa arti dan makna qurban tersebut. Kita coba renungkan, seorang bapak, Ibrahim AS, yang setelah dalam kurun waktu yang sangat lama belum memiliki keturunan, pada usia 100 tahun dan isterinya 90 tahun, baru dikaruniai anak.

Putra tunggal semata wayang yang dimilikinya ternyata diperintahkan Allah untuk disembelih. Karena keimanan, ketakwaan dan ketaatan kepada Allah, dengan keyakinan penuh yang bersangkutan bersedia melakukannya. Demikian pula yang dilakukan Ismail. dengan tawakkal dan sepenuh hati bersedia disembelih, mengorbankan nyawanya demi memenuhi perintah dan ketaatan kepada Allah.

Jika hal tersebut terjadi pada diri kita, maka pertanyaannya adalah, apakah kita mampu melakukan hal tersebut? Kecenderungan kuat yang terjadi pada diri kita, baik dalam posisi sebagai Nabi Ibrahim atau Ismail adalah ketidaksiapan, keengganan dan ketidakmampuan untuk menjalani hal tersebut. Tetapi paling tidak pertanyaan yang periu kita kemukakan pada diri kita adalah pengorbanan apa yang telah kita lakukan demi terwujudnya cita-cita hidup kita sebagai hamba Allah yang mukmin dan muslim?

Islam menuntut bukti perjuangan dan pengorbanan dari setiap pengikutnya. Lihatlah kehidupan para nabi, rasul, para sahabat, para syuhada, mujahidin dan shalihin, tak satupun dari mereka sepi dari perjuangan dan pengorbanan, baik dalam bentuk moril maupun materil, bahkan jiwa dan raga mereka. Apa gerangan yang sudah kita lakukan untuk Allah? Apa yang sudah kita qurbankan dari diri kita, dari keluarga kita untuk agama Allah?

Jangankan jiwa raga, harta pun kita pelit membagi sesama sesuai perintah Allah. Dan, kalau mau lebih tajam lagi, jangankan jiwa raga dan harta, waktu untuk beribadah kepada Allah pun sepertinya kita sayang dan cenderung enggan meluangkan waktu yang memadai untuk beribadah kepada Allah.

Sepertinya lebih berharga mencari dunia, dari pada bersusah payah shalat berjamaah, shalat sunat qabliyah dan ba’diyah, sedekah atau berdakwah. Kecintaan dan ketaatan kita kepada Allah layak dan patut kita pertanyakan.

Kita patut prihatin bahwa dalam masyarakat saat ini cenderung semakin kuatnya pola hidup materialisme, suka pamer kekayaan yang akibatnya semakin mendorong orang-orang kaya untuk terus memperkaya diri sendiri, tanpa menghiraukan perolehannya dilakukan secara bathil atau tidak, merugikan orang lain atau tidak. Harta yang ada di tangan mereka menjadi kehilangan fungsi sosialnya karena habis hanya untuk memperturutkan hawa nafsunya Demikian pula yang terjadi pada kelompok lain, yaitu orang-orang kaya yang kikir dan bakhil dengan kekayaannya.

Karena harta di tangan orang-orang yang bakhil dan kikir justeru akan lebih kehilangan fungsi sosialnya, sebab harta itu hanya akan disimpan rapat-rapat untuk dihitung-hitung dan ditumpuk-tumpuk. Tanpa mau dikurangi sedkikitpun untuk keperluan sosial, seakan-akan mereka akan hidup kekal dengan hartanya. Padahal dalam surat al-Lahab ayat 1 dan 2 dinyatakan:

تَبَّتْ يَدَا أَي لَهَبٍ وَتَبُ مَا أَغْى عَنْهُ مَالَهُ وَمَا كَسَبَ

Artinya: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang is uschakun.”

Demikian pula dalam surat al Humazah ayat 1-4:

قبل لكُلِّ هُمَزَةٍ لمَرَةِ الَّذِي جَمَعَ مَالاً وَعَدَدَهُ، تَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ
أحلدَه كَلَّا لَيُلْبَذَن فِي الْخَطْمَةِ

Artinya: “Kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. Dia mengira hahura hartanya itu dapat mengkekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah.”

Agama Islam bukanlah agama yang hanya mengutamakan kepentingan individual, tetapi kepentingan jama’ah (sosial), saling tolong menolong, saling meringankan beban, saling berempati bahkan saling menutupi aib (kekurangan) sangat ditekankan. Teramat banyak ajaran dan tuntunan yang berkaitan dengan hal tersebut, yang tidak mungkin diketengahkan secara keseluruhan, yang terpenting adalah bagaimana kita mengimplementasikan ajaran tersebut.

Jika kita cermati fenomena keberagamaan umat Islam saat ini, cenderung terbangunnya kesalehan individual dan belum terbangunnya secara maksimal kesalehan sosial. Seorang melakukan ibadah shalat, tetapi tidak mampu mengimplementasikan dalam kehidupan keseharian.

Rajin melakukan ibadah puasa tetapi tidak mampu memaknai ibadah puasa dalam kehidupan sosial. Zakat, infak dan shadaqah cenderung belum dilakukan secara maksimal. Berlomba-lomba melakukan ibadah haji dan umrah, bahkan dilakukan berulang-ulang.

Apakah tidak akan lebih bermanfaat jika yang telah melakukan ibadah haji dan umrah berulang-ulang mengalokasikan dana tersebut untuk kepentingan sosial, menyantuni fakim miskin, anak yatim, untuk pembangunan rumah ibadah dan lain-lain.
Karena itulah, maka peristiwa yang dilakukan oleh nabi Ibrahim dan Ismail tersebut sepatutnya kita jadikan i’tibar, suatu pelajaran dan teladan penting. Di antaranya:

Pertama, Ismail adalah harta yang paling berharga dan amat dicintai oleh Ibrahim, namun dengan keikhlasan yang total, Ibrahim rela mengorbankannya. Ini adalah sebuah pengabdian yang amat sempurna dan prestasi keimanan yang supergemilang.

Dalam konteks kekinian dan kedisinian, fenomena berkorban amat mudah kita jumpai menjelang perhelatan politik seperti pemilu, pilpres, pilkada dan sebagainya. Saksikan saja, dengan mudah orang-orang menggelontorkan jutaan bahkan miliaran rupiah untuk kepentingan politiknya.

Tetapi sebaliknya, betapa sulitnya kita temukan orang yang bersedia melakukan hal yang serupa untuk kepentingan di jalan Allah, kepentingan umat dan publik. Inilah yang membedakan antara Ibrahim dan manusia sekarang. Pengorbanan Ibrahim merupakan wujud dari totalitas pengabdian, maka manusia sekarang cenderung berpengabdian semu dan sarat pamrih.

Kedua, urgensi dialog sebagai fondasi tegaknya demokrasi, egalitarianisme dan humanisme. Teladan ini kita kita petik dari peristiwa ‘tawar menawar antara ibrahim dan Ismail sebelum melakukan ekekusi. Sebagaimana kita maklumi, “penyembelihan Ismail’ adalah titah Allah SWT., namun tidak serta merta Ibrahim memaksakan titah itu walaupun kepada anaknya, tetapi terjadinya dialog.

Ketiga, penyembelihan hewan qurban hakikatnya adalah perintah Tuhan untuk mengorbankan dan menyembelih egoisme, keserakahan, dan nafsu kebinatangan yang hanya akan melahirkan kesenjangan dan pada akhirnya berujung pada disharmoni dan bahkan disintegrasi sosial. Sementara pendistribusian daging qurban menyiratkan pesan pentingnya kepekaan dan solidaritas sosial. Seolah-olah Allah berkata, jika ingin dekat dengan-Ku, maka dekatilah dan tolonglah saudara-saudara kalian yang serba kekurangan.

Secara subtansial, tujuan qurban bukan sekedar menyembelih binatang. Sejatinya ibadah qurban menyiratkan pesan penting untuk membantu kesulitan orang lain. Pesan subtansial dari sebuah ritual ini yang semestinya kita teguhkan, bukan prosesi ritual itu sendiri yang diberi porsi perhatian berlebih. Hendaknya dul adha 1432H tahun ini benar-benar kita jadikan sebagai momentum untuk melakukan refleksi terhadap peristiwa yang sarat makna yang dialami oleh nabi Ibrahim dan Ismail.

Pengorbanan adalah sebagai keniscayaan hidup bagi orang-orang yang beriman. Dan hanya ada satu hal yang kelak akan memutus siklus pengorbanan yaitu kematian! Hanya kematianlah yang akan membebaskan orang-orang yang beriman dari pengorbanan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!

Kalau pengorbanan telah melekat begitu kuat dalam tabiat kehidupan, maka begitulah pengorbanan menjadi wajah abadi bagi iman. Sebab geliat iman hanya akan terlihat pada sebanyak apa kita berkorban, pada sebanyak apa kita memberi, pada sebanyak apa kita menangis; dan puncak dari segalanya adalah saat dimana kita menyerahkan harta dan jiwa sebagai persembahan total kepada Allah SWT.

Maka bertanyalah kepada diri sendiri; sudah berapa banyak yang kita berikan? Sudah berapa banyak kita meneteskan air mata?, Sudah berapa banyak pengorbanan kita dalam berjuang untuk agama Allah.

بارك الله لي ولكم في القرآن الكريم وتفاعنى واناكم بما فيه من الآية وذكر الحكيم وتقبل الله مني ومنكم تلاوته الله هو السميع العليم القول قولى هذا لي ولكم والشاعر المسلمين والمسلمات والمؤمنين والْمُؤْمِنَاتِ وَاسْتَغْفِرُ اللهَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرحيم

الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر
الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا الحمد لله الذي اعاد الأعياد وكرر. احمده سبحانه ان خلق وصور وأشهدا ن لا إله إلا الله وحده لا شريك له شهادة يثقل بيها الميزان في المحشر، واشهد ان محمدا رسول الله المبعوث إلى الأسود و الأحمر. اللهم فصل وسلم على سيدنا محمد وعلى الله واصحابه الفائزين بالشرف الأخر (اما بعد)، فيا عباد الله اتقوا الله فيما أمر وانتهوا عما نهى الله عنه وحد ر. واعلموا أن الله تعالى صلى على نبيه قديما.

فقال تعالى: إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين امنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد خير الخلق صاحب الوجه الأنوار وارض اللهم عن كل الصحابة أجمعين. وعن التابعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الاحياء منهم والاموات الك قريب مجيب الدعوات اللهم استر عيوبنا واكفنا ما اهمنا وقنا شر ما تتخوف ووفقنا ما نوينا من حوائج الدنيا والآخرة ربنا هب لنا ان ازواجا وذرياتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما بربنا اتنا في الله نيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار والحمد لله رب العالمين.

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ الحَمْدُ لِلّٰهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ خُلُقَهُ الْقُرْآنُ، أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمْ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمُ

Jamaah salat Idul Adha rahimakumullah, Idul Adha yang dirayakan oleh umat Islam di seluruh dunia pada setiap bulan Dzulhijjah merupakan hari raya yang sangat identik dengan dua ibadah, yakni haji dan kurban.

Dalam tuntunan agama Islam, ke dua ibadah ini memang hanya bisa dilakukan pada bulan Dzulhijjah. Hari raya Idul Adha, haji, dan kurban juga tak bisa dipisahkan dari kisah dan perjalanan hidup Nabi Ibrahim beserta keluarga karena banyak peristiwa yang mewarnai kehidupannya diabadikan dalam ritual ibadah haji dan kurban.

Pada kesempatan khutbah kali ini, mari kita menapak tilas dan menelusuri kembali kisah perjalanan dan perjuangan hidup yang dialami oleh kakek moyang Nabi Muhammad saw ini yang berkaitan erat dengan ibadah haji dan kurban.

Dengan mengenang kembali perjuangan Nabi Ibrahim, diharapkan kita mampu mengambil ibrah, hikmah, dan nilai-nilai spiritual sebagai modal dalam menjalani kehidupan ini. Dengan memahami sejarah ini, mudah-mudahan kita juga bisa termotivasi untuk bisa melaksanakan ibadah haji dan kurban yang semua umat Islam pasti mengidam-idamkannya.

Kaum mulsimin dan muslimat, jamaah salat Idul Adha rahimakumullah, Kita awali kisah perjalanan dan perjuangan keluarga Nabi Ibrahim dan istrinya yang bernama Siti Hajar dari saat Allah menganugerahi mereka seorang putra yang sudah diidam-idamkan sejak lama.

Kelahiran putra yang diberi nama Ismail ini diiringi dengan perintah dan cobaan dari Allah swt untuk menempatkan Siti Hajar dan Ismail di daerah lembah yang tandus dan gersang. Kisah ini diabadikan dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 37:

رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ

Artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak ada tanamannya (dan berada) di sisi rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (demikian itu kami lakukan) agar mereka melaksanakan salat. Maka, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan anugerahilah mereka rezeki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.”

Saat tinggal di lembah itu, suatu hari Siti Hajar kehabisan air minum hingga tidak bisa menyusui Ismail. Ia pun mencari air ke sana-kemari sambil berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali. Peristiwa inilah yang kemudian diabadikan menjadi salah satu rukun haji, yakni Sa’i atau berlari-lari kecil antara kedua bukit tersebut.

Di tengah kesusahan itu, Allah menurunkan pertolongan melalui mata air yang muncul dari tanah, tepat di bawah kaki Ismail, yang saat itu sedang menangis kehausan. Di tempat inilah keluar air penuh berkah yang sampai saat ini bisa terus dinikmati oleh umat Islam seluruh dunia bernama air zamzam.

Cobaan keluarga Nabi Ibrahim tidak berhenti sampai di situ. Nabi berjuluk “Khalilullah” (kekasih Allah) ini mendapatkan perintah dari Allah swt melalui mimpi untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail. Perintah ini juga menjadi sebuah ujian keimanan dan ketakwaan Nabi Ibrahim kepada Allah.

Karena sebelumnya, ia pernah mengeluarkan janji bahwa jika Allah menghendaki Ismail untuk dikurbankan, maka ia akan melakukannya. Perintah itu pun akhirnya benar-benar datang kepadanya Awalnya, ketika bermimpi diperintahkan untuk menyembelih Ismail, Ibrahim merasa ragu.

Ia pun melakukan perenungan dan berfikir-fikir apakah ini benar-benar perintah Allah. Peristiwa ini kemudian diabadikan dengan nama Tarwiyah yakni hari perenungan di mana kita disunnahkan berpuasa pada tanggal 8 Dzulhijjah.

Setelah perenungan ini, kemudian hilanglah keragu-raguan itu. Karena Nabi Ibrahim kembali bermimpi hal yang sama untuk menyembelih Ismail dan tahu jika itu adalah benar-benar perintah Allah swt. Peristiwa ini yang kemudian diabadikan dengan nama hari Arafah yang berarti ‘mengetahui’ di mana kita juga disunahkan berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Jamaah Salat Idul Adha rahimakumullah, Setelah Nabi Ibrahim tahu dan yakin perintah itu datang dari Allah, maka ia pun menyampaikan dan berdiskusi dengan Ismail. Dialog bersejarah antara Ayah dan anak ini pun diabadikan dalam Al-Qur’an surat As-Shaffat ayat 102:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Artinya: “Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar,”

Akhirnya, hari itu pun datang ketika Ibrahim dengan keimanan dan ketakwaannya serta Ismail dengan keyakinannya akan melaksanakan prosesi penyembelihan. Pada waktu itu, setan juga terus membisikkan kepada Ibrahim, Ismail, dan juga Siti Hajar untuk tidak usah menjalankan perintah Allah ini.

Namun, keyakinan mereka tidak goyah sedikit pun. Untuk mengusir setan yang mengganggu, Nabi Ibrahim pun melemparinya dengan batu yang kemudian peristiwa ini diabadikan dalam ritual ibadah haji, yakni melempar jumrah.

Ketika info-info Ibrahim akan menyembelih Ismail, tiba-tiba Allah swt berfirman dan memerintahkan Ibrahim berhenti tidak menyembelih Ismail. Firman ini termaktub dalam Al-Qur’an surat As-Saffat ayat 107-110:

وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ. وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِى الْاٰخِرِيْنَ ۖ سَلٰمٌ عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ. كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya: “Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar. Kami mengabadikan untuknya (pujian) pada orang-orang yang datang kemudian, salam sejahtera atas Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.”

Atas peristiwa ini Malaikat Jibril yang membawakan hewan untuk disembelih sebagai pengganti Ismail pun berseru “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Takbir ini disambut Ibrahim dengan “Lailaha illahu Allahu Akbar” yang kemudian disambung oleh Ismail “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.”

Dari peristiwa epik inilah, umat Islam kemudian disyariatkan untuk menyembelih hewan kurban di hari raya Idul Adha pada 10 Dzulhijjah. Peristiwa ini juga menegaskan bahwa seseorang dilarang keras mengalirkan darah manusia.

Jamaah salat Idul Adha rahimakumullah, Dari peristiwa bersejarah keluarga Nabi Ibrahim ini, kita bisa banyak mengambil hikmah dan keteladanan. Dimulai dari keteladanan perjuangan hidup sampai dengan keteguhan iman dan takwa dalam menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Kisah-kisah Nabi Ibrahim, yang termaktub dalam Al-Qur’an dan terwujud dalam bentuk ibadah seperti sai, melempar jumrah, puasa tarwiyah dan Arafah, serta menyembelih hewan kurban ini harus semakin meningkatkan keyakinan dan keteguhan kita dalam beribadah.

Karena memang tujuan dari diciptakannya kita ke dunia ini adalah untuk beribadah. Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Artinya: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS Ad Dzariyat: 56).

Jamaah salat Idul Adha rahimakumullah, dalam menjalankan ibadah haji dan kurban, kita membutuhkan keteguhan dan keyakinan yang kuat karena harus rela mengeluarkan harta yang kita miliki. Jika tidak memiliki niat yang kokoh, maka haji dan kurban pun akan sulit untuk dilakukan.

Untuk berhaji, kita harus berkorban menyiapkan puluhan juta rupiah guna membayar biaya perjalanan ke Tanah Suci. Ditambah juga kesabaran tinggi karena harus rela antre bertahun-tahun karena banyaknya umat Islam yang ingin menjalankan rukun Islam kelima ini.

Untuk berkurban, kita juga harus menyediakan anggaran jutaan rupiah untuk membeli hewan kurban dan kemudian dibagi-bagikan kepada orang lain. Namun, ma’asyiral Muslimin wal Muslimat jamaah salat Idul Adha rahimakumullah, Kita tidak perlu khawatir.

Harta dunia yang kita keluarkan untuk berangkat ke Tanah Suci ini akan dibalas oleh Allah swt dengan kenikmatan kehidupan akhirat di surga yang abadi. Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah SAW bersabda:

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

Artinya: “Tidak ada balasan (yang pantas diberikan) bagi haji mabrur kecuali surga.” (HR al-Bukhari).

Begitu juga dengan ibadah kurban, Rasulullah telah menegaskan dalam dari Siti Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah:

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

Artinya: “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.”

Jamaah salat Idul Adha rahimakumullah, Demikian khutbah Idul Adha yang mengangkat tentang kisah inspiratif penuh perjuangan dari keluarga Nabi Ibrahim yang diabadikan dalam ritual ibadah haji dan kurban. Semoga bisa menambah pengetahuan kita sekaligus meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah.

Dan semoga Allah swt senantiasa menurunkan hidayah dan rezekinya kepada kita sehingga kita bisa menjalankan tugas kita untuk beribadah khususnya mampu untuk melakukan ibadah haji dan berkurban. Amin.

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ . أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.

اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

(H. Muhammad Faizin, Sekretaris PCNU Kabupaten Pringsewu, Lampung)

اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ
اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ
اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ

اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيْلًا لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَللهِ الْحَمْدُ. الْحَمْدُ للهِ الْحَمْدُ للهِ الْخَالِقِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَفْضَلِ الْخَلْقِ وَالْخَلَائِقِ. أَشْهَدُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ الْمَنَّانُ. الَّذِيْ اَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ الْاِسْلَامِ وَالْاِيْمَانِ.

وَ أَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اِلَى جَمِيْعِ الْاِنْسَانِ وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِهِمْ اِلَى اٰخِرِ الزَّمَانِ. اَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ.

Jamaah salat Idul Adha yang dimuliakan Allah, Hari ini, 10 Dzulhijjah, merupakan hari yang sangat mulia, hari yang sarat akan ibadah beserta keutamaan-keutamaannya. Saudara-saudara kita tengah melaksanakan ibadah haji di Makkah, sedangkan kita menjalankan salat Idul Adha. Di hari ini, kita juga diperintahkan untuk menyembelih hewan kurban.

Jamaah yang berbahagia, Hari Raya Idul Adha tidak akan bisa terlepaskan dari sebuah kisah ribuan tahun lalu, saat Nabi Ibrahim as diberi cobaan yang sangat berat. Di usianya yang menginjak 86 tahun, ia begitu senang karena dikaruniai seorang anak yang sangat saleh sebagaimana yang ia panjatkan dalam doanya, “Rabbi habli minas sholihin”, duhai Tuhanku, karuniakanlah bagiku keturunan yang saleh.

Allah swt pun mengabulkannya dengan menciptakan Nabi Ismail as melalui rahim Siti Hajar. Namun, saat putra yang begitu dicintai beranjak besar, ia diperintahkan melalui sebuah mimpi untuk mengorbankannya. Dalam suatu hadits Nabi Muhammad saw, disebutkan bahwa mimpi bagi seorang Nabi merupakan wahyu.

Namun, pada mulanya, Ibrahim ragu dengan perintah tersebut. Akan tetapi, mimpi tersebut berulang kembali pada malam berikutnya. Dengan begitu, ia yakin bahwa mimpi tersebut merupakan perintah yang harus ditaati. ad Kisah inipun termuat dalam dalam Al-Qur’an Surat As-Shaffat ayat 102:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab: hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.

Jemaah sekalian yang dimuliakan Allah, ayat tersebut memberikan pelajaran penting bagi kita mengenai sikap yang ditunjukkan Nabi Ibrahim. Ia menunjukkan cara berkomunikasi yang baik dengan tidak tiba-tiba langsung mengeksekusi putranya.

Dengan tenang, ia menceritakan duduk perkaranya, apa yang telah dialaminya, dan perintah yang ia terima melalui mimpi tersebut. Ia pun meminta pertimbangan atas perintah tersebut kepada putranya. Sementara itu, sebagai anak yang saleh, Nabi Ismail menurut dan pasrah akan perintah tersebut.

Perlu digarisbawahi, bahwa Nabi Ismail menaati perintah itu menunjukkan tidak memberikan ruang pengingkaran terhadap perintah tersebut. Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi dalam kitabnya Qishashul Anbiya halaman 94 menyebutkan:

وَ لَمْ يَقُلْ: يَا اَبَتِ افْعَلْ مَا تُرِيْدُ, حَتَّى يَأْخُذَ الْاِبْنُ ثَوَابَ عُبُودِيَّةِ الطَّاعَةِ

Artinya: “Ia tidak menjawab, duhai ayahku, lakukan apa yang engkau kehendaki”, sehingga Nabi Ismail memperoleh pahala ibadah atas ketaatannya”. Nabi Ismail as tidak menjawab permintaan tanggapan itu dengan ‘terserah ayah’. Tetapi pendapat yang disampaikannya adalah pelaksanaan atas perintah tersebut.

Itulah bentuk ketaatan yang ditunjukkan Nabi Ismail as. Selanjutnya, jamaah sekalian, kita melihat bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menggunakan bahasa yang sesuai dengan orang yang diajak bicara. Nabi Ibrahim menggunakan kata: “Ya bunayya, duhai putraku”, untuk menyapa putranya.

Sedangkan Nabi Ismail memilih kata: “Ya abati, duhai ayahku”, untuk menyapa ayahnya. Syekh Abi Hayyan Al-Andalusi (654-754) dalam kitab al-Bahrul Muhith Juz 9, mengatakan bahwa pilihan kata yang digunakan Nabi Ibrahim itu merupakan wujud sayangnya terhadap anak.

Pun Nabi Ismail menggunakan sapaan yang menunjukkan penghormatan dan pengagungannya terhadap orang tua. Hal itu juga sejalan dengan sebuah hadits Nabi No.1843 yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا

Artinya: “Bukan termasuk dari golongan kami orang yg tak menyayangi anak kecil dan tak menghormati orang tua (orang dewasa).”

Oleh karenanya, sudah selayaknya kita sebagai orang tua untuk memberikan kasih sayang penuh kepada putra-putri kita dengan sapaan yang lembut memberikan sentuhan kesejukan di hati anak-anak. Pun kita sebagai seorang anak, harus sepenuh takzim kepada orang tua kita, dengan mendengarkan pembicaraannya, melaksanakan perintahnya, menjawab panggilannya, dan lain sebagainya.

Inilah ilmu komunikasi yang bisa kita petik dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail. Demikian khutbah Idul Adha yang saya sampaikan. Semoga kita semua dapat meneladani laku keduanya dalam kehidupan kita berkeluarga dengan menerapkan komunikasi yang baik serta penuh dengan kasih sayang.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَ لَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَ نَفَعَنِيوَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَ الذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَ مِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَ لَكُمْ وَ لِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ فَيَا فَوْزَ الْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَ يَا نَجَاةَ التَّائِبِيْنَ

اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ.اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيْلًا لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَللهِ الْحَمْدُ.الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ هَدَانَا لِشَرِيْعَةِ الْاِسْلَامِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَشْرَفِ الْاَنَامِ. أَشْهَدُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ اَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ وَرَبُّ الْعَالَمِيْنَ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا اِمَامَ الْمُرْسَلِيْنَ وَخَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ.أَمَّا بَعْدُ. فَيَاأَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى اِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ أٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلٰى أٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَ عَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَ بَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَ عَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ فْي الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ وَارْضَ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَعَنِ السِّتَّةِ الْمُتَمِّمِيْنَ لِلْعَشَرَةِ الْكِرَامِ. وَعَنْ اَصْحَابِ نَبِيِّكَ اَجْمَعِيْنَ. وَ التَّابِعِبْنَ وَ تَابِعِ التَّابِعِيْنَ وَ تَابِعِهِمْ اِلٰى يَوْمِ الدِّيْنِ.َللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ وَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ الْاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْاَمْوَاتِ بِرَحْمَتِكَ يَا خَالِقَ الْمَخْلُوْقَاتِ.

اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَ الطَّاعُوْنَ وَ الْاَمْرَاضَ وَ الْفِتَنَ مَا لَا يَدْفَعُهُ غَيْرُكَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُوْنِيْسِيَّا هٰذَا خَاصَّةً وَ عَنْ سَائِرِ بِلَادِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا اٰتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَ الْاِحْسَانِ وَ يَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرُ

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ
اَلْحَمْدُ لِلهِ الرَّحِيْمِ الرَّحْمَنِ، أَمَرَ بِالتَّرَاحُمِ وَجَعَلَهُ مِنْ دَلاَئِلِ الإِيْمَانِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ عَلَى نِعَمِهِ الْمُتَوَالِيَةِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، الرَّحْمَةُ الْمُهْدَاةُ، وَالنِّعْمَةُ الْمُسْدَاةُ، وَهَادِي الإِنْسَانِيَّةِ إِلَى الطَّرِيقِ الْقَوِيْمِ، فَاللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَنبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، وَعَلَى مَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ
أَمَّا بَعْدُ: فَأُوْصِيْكُمْ عِبَادَ اللهِ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hadirin-hadirat jamaah salat Idul Adha rahimakumullah. Pertama-tama, marilah kita semua senantiasa terus meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang oleh-Nya.

Pada hari ini yang dimulai setelah kita menyelesaikan salat Id, kita disunnahkan untuk berkurban, yakni menyembelih binatang seperti kambing atau sapi yang kemudian dagingnya kita makan, kita hadiahkan dan kita sedekahkan kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan.

Kesunnahan berkurban ini berkaitan dengan sejarah Nabi Ibrahim AS yang diuji keimanannya oleh Allah untuk melepaskan sesuatu yang paling ia cintai di dunia ini, yakni dengan menyembelih putranya.

Pada malam tanggal 8 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS mendapatkan wahyu melalui mimpinya bahwa Allah memerintahkan kepadanya untuk menyembelih anak yang paling ia sayangi. Nabi Ibrahim merenung panjang, “Haruskah ia mengikuti perintah Tuhannya untuk melepaskan hal yang paling ia sayangi, hal yang paling ia sukai? Apakah mimpi ini benar dari Allah atau bukan?” Nabi Ibrahim sangat sedih dalam permenungan yang sangat panjang itu.

Karenanya, pada tanggal 8 Dzulhijjah yang kita semua disunnahkan untuk berpuasa disebut dengan hari “tarwiyah” yang berarti “hari merenung”, yakni hari di mana Nabi Ibrahim AS melakukan permenungan panjang atas mimpinya.

Kegalauan Nabi Ibrahim AS mendapatkan jawabannya pada malam hari berikutnya, yakni pada malam hari 9 Dzulhijjah, bahwa ia benar-benar diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anak kesayangannya yang bernama Isma’il. Karenanya, tanggal 9 Dzulhijjah yang kita semua, umat Islam disunnahkan berpuasa disebut dengan “hari Arafah” yang berarti “pengetahuan”, yakni hari di mana Nabi Ibrahim AS mendapatkan jawaban atau pengetahuan atas perintah Allah yang ia ragukan sebelumnya.

Dengan dasar ketaatan kepada Allah yang sangat tulus, dengan latar belakang rasa cinta kepada Tuhan yang mengalahkan segalanya, Nabi Ibrahim AS benar-benar mantap dan bertekad akan menjalankan perintah-Nya, yaitu menyembelih Ismail, orang yang paling ia sayangi.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد

Hadirin jamaah salat Idul Adha rahimakumullah. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim AS saat itu. Seorang ayah yang sudah lama sekali menanti memiliki keturunan, namun ketika dikaruniai anak melalui pernikahannya dengan Dewi Hajar, anak yang beliau impi-impikan itu harus disembelih dengan tangannya sendiri, padahal Nabi Ibrahim AS memiliki anak ketika usianya sudah sangat sepuh, yakni 86 tahun.

Dalam Al-Qur’an surat Ash-Shâffât 100-101 diceritakan bahwa Nabi Ibrahim AS meminta kepada Allah diberi keturunan yang saleh, lalu Allah mengabulkannya dengan memberi anak yang sabar.

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ. فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ.

Kita juga tidak bisa membayangkan bagaimana dialog Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan istrinya ketika meminta izin untuk menjalankan perintah Allah, yakni menyembelih anaknya. Sudah pasti perasaan keduanya hancur karena harus melepas kesayangannya.

Perasaan keduanya gundah dan berkeping-keping karena orang yang paling ia sayangi akan mati di tangannya. Tapi, rupanya cinta Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan istrinya kepada Allah SWT melebihi segala-galanya. Demi mengikuti perintah Allah, keduanya rela melepaskan orang yang paling dicintai.

Begitu juga, kita tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan suami istri itu ketika meminta izin kepada anaknya yang akan dikorbankan, yakni Ismail AS. Tapi Isma’il sendiri justru menguatkan tekad ayah dan ibundanya untuk menunaikan perintah Allah SWT

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ.

“Ketika anak itu memasuki usia dewasa, sudah berkembang, sudah bisa bepergian dan berjalan, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata kepada anaknya: Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu? Isma’il anak Ibrahim menjawab: Wahai bapakku, lakukanlah apa yang diperintah (Allah) kepadamu, insyaallah engkau akan mendapatiku bagian dari orang-orang yang sabar” (QS Ash-Shâffât 102).

Setelah Nabi Ibrahim AS dan Ismail, anak yang akan dikurbankannya itu sampai di tempat yang diperintahkan (menurut Ubaid bin Umair di tempat yang di kemudian hari disebut “Maqâm Ibrahim”; menurut Mujâhid, di Mina), tiba-tiba Allah memberikan wahyu untuk menggantinya dengan kambing.

Atas dasar cinta kepada Allah yang melebihi segala-galanya, keluarga Nabi Ibrahim menjadi keluarga yang terberkati. Nabi Ibrahim diberi gelar “khalîlullah” atau kekasih Allah, dan dari keluarga ini lahirlah keturunan-keturunan para nabi seperti Nabi Ishâq, Nabi Ya’qûb, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW.

كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

“Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ash-Shâffât 110).

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد

Hadirin-hadirat yang dimuliakan Allah, peristiwa Nabi Ibrahim yang sangat mendebarkan hati ini, bukan semata-mata arsip sejarah yang perlu dikenang jika dibutuhkan, tapi kisah ini memiliki makna, ‘ibrah atau pelajaran yang perlu diambil dan diperhatikan bagi seluruh umat manusia. Kisah Nabi Ibrahim AS adalah simbol pengorbanan di dalam beragama.

Di antara pelajaran itu, pertama, beriman atau beragama pada dasarnya melawan hawa nafsu atau kesenangan yang ada di dalam diri kita masing-masing.

Setiap manusia cenderung mengikuti keinginan nafsunya, yakni ingin melakukan hal yang enak, menikmati segala kesenangan tanpa batas, merasakan segala keindahan dan yang lainnya tanpa memperdulikan hal tersebut menyakiti, merugikan atau membahayakan diri sendiri maupun orang lain atau tidak. Di sinilah agama hadir memberikan seperangkat aturan, yakni mengatur perbuatan ini haram dan perbuatan itu halal, tindakan ini boleh dan tindakan itu tidak boleh, hal ini baik dan hal itu buruk, dan seterusnya.

Dengan demikian masing-masing dari orang yang beragama seharusnya mematuhi aturan agama, bukan mengikuti kesenangan atau kehendak nafsunya. Dalam kisah Nabi Ibrahim, kenikmatan tertinggi disimbolkan dengan memiliki anak, tapi Nabi Ibrahim berhasil mengalahkan hawa nafsu kecintaan kepada putranya dengan mengikuti perintah Allah SWT.

Pelajaran atau ‘ibrah yang kedua dari kisah Nabi Ibrahim AS di atas yaitu penegasan bahwa hak asasi manusia harus dijunjung tinggi, dalam hal ini hak hidup. Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putranya bertujuan untuk menguji keimanannya atau ibtilâ` (إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ), sehingga ketika beliau tulus hendak menunaikannya, Allah SWT mengganti objek sesembelihannya dengan binatang. Penggantian “objek kurban” dari manusia ke binatang mengandung makna bahwa manusia memiliki hak untuk hidup yang seorang pun atas nama apa saja tidak boleh menghilangkannya.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد

Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah SWT
Ajaran menjunjung tinggi kemanusiaan dalam agama Ibrahim pada masa itu benar-benar sangat langka mengingat ada banyak kepercayaan suku yang melakukan persembahan kepada “tuhannya” atau qurbân dengan menggunakan darah manusia, sementara ajaran agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang kemudian diteruskan Nabi Muhammad SAW sedari awal dengan tegas mengharamkan meneteskan darah manusia.

Penegasan akan hak hidup dan hak-hak dasar lain yang dimiliki manusia di kemudian hari disampaikan secara jelas oleh Nabi Muhammad SAW secara berturut-turut, yakni dalam khutbah di Padang Arafah ketika beliau menjalankan ibadah haji yang dilakukan hanya sekali dalam seumur hidupnya atau dikenal dengan hajjah al-wadâ’ (haji perpisahan) pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke 10 H atau bertepatan pada tahun 632 M, dan dalam khutbah Idul Adha, sehari setelahnya pada tanggal 10 Dzulhijjah pada tahun yang sama.

Dalam kedua khutbah itu, Nabi Muhammad SAW berpesan kepada semua orang yang hadir bahwa jiwa, harta, dan harga diri manusia memiliki kemuliaan yang tidak boleh dihilangkan oleh siapapun. Nabi SAW bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ، اِسْمَعُوْا قَوْلِيْ، فَإِنِّيْ لَا أَدْرِيْ لَعَلِّيْ لَا أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِيْ هَذَا بِهَذَا الْمَوْقِفِ أَبَدًا، أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، وَكَحُرْمَةِ شَهْرِكُمْ هَذَا، وَسَتَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ، فَيَسْأَلُكُمْ عَنْ أَعْمَالِكُمْ، أَلَا فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِيْ ضَلَالًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ.

“Wahai sekalian manusia, dengarkanlah perkataanku. Sesungguhnya aku tidak tahu, barangkali setelah tahun ini aku tak bisa lagi berjumpa dengan kalian selama-lamanya. Wahai umat manusia, sesungguhnya darah kalian, harta dan harga diri kalian itu mulia, sebagaimana mulianya hari ini dan bulan ini.

Kalian kelak akan bertemu Tuhan, dan Ia akan bertanya kepada kalian tentang perbuatan yang kalian lakukan. Ingatlah, setelah aku wafat janganlah kalian kembali ke dalam kesesatan, di mana sebagian di antara kalian memukul atau membunuh sebagian yang lain.”

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ. كُلُّكُمْ لِأَدَمَ، وَأَدَمُ مِنْ تُرَابٍ. إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ الله ِ أَتْقَاكُمْ. لَيْسَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَبْيَضَ، وَلَا لِأَبْيَضَ عَلَى أَحْمَرَ فَضْلٌ إِلَّا بِالتَّقْوَى.

“Wahai umat manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu, leluhur kalian juga satu. Kalian berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Sesungguhnya paling mulianya kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Orang Arab tidak lebih utama daripada Non Arab atau ‘ajam, Non Arab tidak lebih utama daripada orang Arab. Orang kulit merah tidak lebih utama daripada yang berkulit putih, orang kulit putih tidak lebih utama dari yang berkulit merah kecuali (disebabkan) tingkat ketakwaannya.”

Khutbah Nabi Muhammad SAW di atas, baik yang disampaikan dalam khutbah di Padang Arafah maupun pada hari raya Idul Adha menegaskan, bahwa Islam, agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW pada abad ke 7 M sejak awal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد

Hadirin-hadirat yang dimuliakan Allah SWT,
Pada hari raya Idul Adha ini, meski kita semua berada dalam kondisi dan situasi yang kurang mengenakkan karena pandemi, tapi dengan segala rasa syukur kepada Allah SWT kita masih diberi kesehatan dan keselamatan, sehingga kita dapat berusaha menggunakan kesempatan ini untuk menunaikan kewajiban-kewajiban kita sebagai seorang Muslim.

Kisah Nabi Ibrahim AS di atas mengajarkan kepada kita bahwa beragama adalah pengorbanan melawan hawa nafsu yang ada di dalam diri kita masing-masing. Beragama adalah usaha menjadikan diri kita sebagai manusia seutuhnya, yakni manusia yang tidak diperbudak oleh nafsu atau manusia lainnya, melainkan manusia yang menghamba dengan seutuhnya di hadapan Allah SWT.

Muda-mudahan, apa yang dijelaskan kali ini bisa memperkuat kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT dan kita semua selalu diberi kesehatan dan keselamatan, serta selalu berada di dalam lindungan Allah SWT.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد
اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ أَمَرَنَا بِالْإِصْلَاحِ، وَحَثَّنَا عَلَى الصَّلَاحِ، وَبَيَّنَ لَنَا سُبُلَ الْفَلَاحِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

أَمَّا بَعْدُ: فَأُوصِيكُمْ عِبَادَ اللَّهِ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللَّهِ. إنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى فِيْهِ بِمَلَائِكَتِهِ، فقَالَ تَعَالَى: إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. وقالَ رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْراً. اللَّهُمَّ صلِّ وسلِّمْ وبارِكْ علَى سَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ الْأَكْرَمِيْنَ، وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ الْاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ.اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا أَخِرَتَنَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَادُنَا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِيْ كُلِّ خَيْرٍ. اَللَّهُمَّ لَا تَدَعْ لَنَا ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا دَيْنًا إِلَّا قَضَيْتَهُ، وَلَا مَرِيْضًا إِلَّا شَفَيْتَهُ وَعَافِيَتَهُ، وَلَا حَاجَةً مِنْ حَوَائِجِ الدُّنْيَا إِلَّا قَضَيْتَهَا وَيَسَّرْتَهَا لَنَا يَا أَكْرَمَ الْأَكْرَمِيْنَ، وَيَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ، وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ
عِبَادَاللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهُ أَكْبَرُ

(Khoirul Anwar NU Online)

اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ

الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَمَرَنَا بِذَبْحِ الْأُضْحِيَّةِ. وَبَلَغَنَا إِلَى هٰذَا الْيَوْمِ مِنْ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ ذُوْ رَحْمَةٍ وَاسِعَةٍ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ تُرْجَى مِنْهُ الشَّفَاعَةُ. أَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الرَّحْمَةِ، وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ ذَوِي الْعُقُوْلِ السَّلِيْمَةِ، صَلَاةً وَسَلَامًا مُتَلَازِمَيْنِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمْ : فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًاۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًاۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ. وَقَالَ اَيْضًا: إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمُ

اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ

Jamaah salat Idul Adha rahimakumullah, mengawali khutbah Idul Adha ini, khatib mengajak seluruh jamaah, wabil khusus kepada diri khatib pribadi untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Iman adalah percaya kepada Allah dan takwa menjadi manifestasinya berupa kesiapan untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Jika iman dan takwa senantiasa ada dalam diri kita, maka kita akan senantiasa berada pada jalan kehidupan yang benar dan diridhai oleh Allah SWT.

Selain menguatkan iman dan takwa, menjadi sebuah keniscayaan bagi kita semua untuk senantiasa bersyukur kepada Allah swt yang telah memberikan nikmat yang tak bisa kita hitung satu persatu dalam kehidupan dunia ini. Di antara nikmat nyata dan agung yang kita rasakan saat ini adalah nikmat iman, Islam dan nikmat sehat dan umur panjang.

Dengan nikmat tersebut kita masih dipertemukan dengan Hari Raya Idul Adha 1446 H dan masih mampu menjalankan ibadah-ibadah yang ada di bulan Dzulhijjah yang mulia ini di antaranya salat Idul Adha kali ini. Kita perlu memunculkan kesadaran agar tidak kufur kepada nikmat-nikmat ini.

فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

Artinya: “Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan (wahai jin dan manusia)?” (QS Ar-Rahman: 13)

Jamaah salat Idul Adha rahimakumullah, perlu kita ingat kembali, ada dua momentum ibadah yang tidak bisa lepas dari Hari Raya Idul Adha. Dua ibadah tersebut membutuhkan keikhlasan tingkat tinggi dan bisa menjadi salah satu barometer keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah swt. Kedua ibadah ini juga harus dilakukan di waktu khusus yakni hanya di bulan Dzulhijjah yang merupakan salah satu bulan mulia dalam agama Islam.

Dibutuhkan tekad yang kuat, didukung kemampuan moril dan materiil memadai, jika kita ingin menjalankan ibadah penyempurna keislaman kita. Kedua ibadah tersebut juga bukan hanya memiliki dimensi vertikal kepada Allah swt, namun juga memiliki dimensi horizontal atau sosial kepada sesama manusia. Apakah dua ibadah tersebut? Ke dua ibadah tersebut adalah Kurban dan Haji.

Lalu, mengapa kurban dan haji mampu menjadi salah satu barometer atau tolok ukur keimanan kita? Ibadah kurban dan haji membutuhkan keyakinan, keikhlasan, dan kepercayaan secara totalitas. Bisa kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari, orang yang memiliki harta banyak namun tidak terpanggil hatinya untuk menjalankan perintah Allah dengan berkurban atau berhaji.

Sementara banyak orang yang kurang mampu, namun memiliki keyakinan dan tekad kuat untuk menabung sedikit demi sedikit agar dapat berkurban dan berhaji. Jika tidak dilandasi dengan keimanan yang kuat, rasanya akan sulit untuk dapat melakukan perintah berkurban dan berhaji ini.

اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ

Jamaah salat Idul Adha rahimakumullah, terkait dengan perintah berkurban, Allah telah memerintahkannya dalam Al-Qur’an surat Al-Kautsar:

اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَر

“Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak.”

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ

“Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).”.

اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ

“Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)”.

Ayat ini tegas memerintahkan kita berkurban untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kita diperintahkan untuk menyisihkan harta yang kita miliki dan berbagai daging hewan kurban demi mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini sesuai dengan makna kata kurban itu sendiri yang berasal dari kata qaraba – yaqrabu – qurban wa qurbanan wa qirbanan, yang artinya dekat dalam artian mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan perintahNya.

Jika keimanan kita kuat, maka tidak akan ada rasa ragu sedikitpun untuk berkurban dengan hewan yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Tentu keraguan bisa saja datang misalnya karena bayang-bayang uang kita akan berkurang untuk membeli hewan kurban. Padahal jika kita beriman secara total, kita yakin Allah akan mengganti dengan yang lebih banyak dan besar dari apa yang kita keluarkan.

Dalam hadits disebutkan:

مَا أَحْسَنَ عَبْدٌ الصَّدَقَةَ إِلَّا أَحْسَنَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ الْخِلَافَةَ عَلَى تِرْكَتِهِ

Artinya: “Tidaklah seorang hamba memperbaiki sedekahnya kecuali Allah memperbaiki pengganti atas harta tinggalannya.” (HR Ibnu al-Mubarak).

Terlebih orang yang mampu secara finansial haruslah tidak ragu-ragu untuk berkurban. Rasulullah pun mengingatkan orang yang mampu namun tidak mau berkurban dengan haditsnya:

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Artinya: “Barang siapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat salat kami.” (HR Ahmad dan Ibn Majah).

Berkurban merupakan wujud keimanan dan ketaatan dalam bentuk pengorbanan yang diberikan secara ikhlas sekaligus menjadi wujud kepekaan sosial dengan memberikan daging kurban kepada yang membutuhkan.

Belum terlambat bagi jamaah yang ingin berkurban, karena ibadah Qurban bisa dilaksanakan mulai 10 Dzulhijjah sampai dengan 3 hari Tasyrik ke depan yakni 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Semoga kita bisa berkurban di tahun ini untuk menguatkan keimanan kita.

اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ

Jamaah salat Idul Adha rahimakumullah, seperti ibadah kurban yang menjadi barometer keimanan, ibadah haji pun demikian juga. Haji merupakan kepatuhan pada perintah Allah dengan harus menempuh perjalanan yang lama dan panjang.

Keimanan kita diuji dengan harus mengeluarkan jutaan rupiah dari penghasilan kita, menunggu antrean panjang untuk berangkat, meninggalkan rumah dan keluarga yang kita cintai, meninggalkan pekerjaan yang menjadi sumber kehidupan kita, dan harus fokus hanya untuk beribadah kepada Allah.

Beratnya ujian keimanan ini sehingga penting bagi setiap orang yang berhaji untuk memantapkan niat berhaji karena Allah swt, bukan karena yang lainnya. Allah telah mengingatkan dalam Al-Qur’an:

وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِۗ

Artinya: “Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah” (Al-Baqarah :196)

Haji sebagai barometer keimanan bisa terlihat dari kedisiplinan dan kepatuhan jemaah dalam menjalankan rukun dan wajib haji seperti ihram, tawaf, sa’i, dan wukuf di Arafah, mabit dan melempar jumrah.

Semua memerlukan kekuatan fisik dan mental sebagai cermin kedalaman spiritual dan keimanan seorang Muslim. Dua helai pakaian putih jemaah menjadi simbol kepasrahan bahwa kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya tanpa membawa materi dunia.

Tanpa iman yang kuat, bisa jadi kita tidak akan terpanggil-panggil untuk bisa berhaji walaupun uang kita banyak dan mencukupi untuk pergi ke sana. Kita harus menjadikan berangkat haji prioritas dalam hidup melalui ikhtiar dan doa.

Kita bisa mengambil semangat dari makna huruf yang membentuk kata ‘Haji’ yakni H (Himmah/ cita-cita), A (Azzam/ tekad bulat), J (Jihad/ bersungguh-sungguh, dan I (Islam/ selamat) mendapatkan kesempurnaan Islam kita.

Jamaah salat Idul Adha rahimakumullah, demikian khutbah Idul Adha ini, semoga bisa memotivasi dan menginspirasi kita semua untuk dapat menjalankan perintah Allah yakni berkurban dan berhaji ke Baitullah sebagai barometer keimanan kita. Amin

الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ، اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ

عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

(H. Muhammad Faizin, Sekretaris MUI Provinsi Lampung)

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ

اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ

الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَمَرَنَا بِذَبْحِ الْأُضْحِيَّةِ. وَبَلَغَنَا إِلَى هٰذَا الْيَوْمِ مِنْ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ ذُوْ رَحْمَةٍ وَاسِعَةٍ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ تُرْجَى مِنْهُ الشَّفَاعَةُ. أَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الرَّحْمَةِ، وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ ذَوِي الْعُقُوْلِ السَّلِيْمَةِ، صَلَاةً وَسَلَامًا مُتَلَازِمَيْنِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمْ : لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, jamaah salat Idul Adha rahimakumullah, semua yang hadir di tempat ini pasti merasakan, betapa besar nikmat-nikmat Allah yang telah dianugerahkan. Nikmat itu tak akan bisa di hitung dalam angka dan angan-angan. Nikmat itu terus mengiringi setiap langkah kita dalam kehidupan. Untuk kita syukuri dan kuatkan, serta diwujudkan melalui lisan, tindakan, dan perbuatan dalam keseharian.

Alhamdulillahirabbil alamin. Kalimat inilah yang harus kita tancapkan lahir dan batin. Agar nikmat yang kita terima ini tetap abadi dan kita tetap yakin, bahwa Allah lah yang pada-Nya tidak ada yang tidak mungkin. Mudah-mudahan kita termasuk golongan orang Mukmin, yang senantiasa ditambah nikmatnya oleh Allah Sang Rabbul Alamin. Amin-amin ya Rabbal Alamin.

Di antara nikmat yang tak bisa kita pungkiri saat ini, adalah umur panjang, kesehatan, dan kesempatan yang senantiasa mengiringi. Sehingga kita bisa merasakan nikmat berhari Raya Idul Adha 1446 H bersama orang-orang yang kita cintai.

Nikmat ini harus kita iringi juga dengan menguatkan takwa kepada Ilahi Rabbi, dengan menjalankan perintah-Nya yang suci dan meninggalkan larangan-Nya dalam kehidupan kita sehari-hari. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 102:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim,”

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, jamaah salat Idul Adha rahimakumullah,

Idul Adha merupakan hari raya umat Islam yang selalu diwarnai dengan kemeriahan dan kebersamaan. Dari hal ini muncullah cinta dan juga kebahagiaan. Semua ini bisa kita rasakan dalam rangkaian ibadah seperti salat Id berjamaah, ibadah haji, dan juga kurban.

Kita berkumpul bersama di masjid dan tanah lapang yang penuh keberkahan. Untuk bersama melaksanakan salat Id sebagai wujud penghambaan dan ketaatan. Semua berkumpul tanpa memandang status kehidupan. Semua sama di hadapan Allah dengan pembeda hanya ketakwaan.

Para jamaah haji di Tanah Suci pun begitu juga. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Iman dan ketakwaan menyatukan mereka. Mereka menghamba kepada Allah, Tuhan alam semesta. Sekaligus menebar kasih sayang kepada sesama sebagai wujud ibadah sosial dan kebersamaan penuh cinta.

Kebersamaan dalam haji dan salat Idul Adha, tentu akan memperkuat ikatan persaudaraan kita. Dari sinilah akan tumbuh rasa cinta untuk senantiasa menghormati sesama. Kita memang diciptakan ke dalam suku, bangsa, warna kulit, dan budaya yang berbeda-beda.

Namun perbedaan itu bukan untuk dibanding-bandingkan dan merasa unggul satu dengan yang lainnya. Tujuan diciptakannya kita berbeda-beda oleh Allah adalah untuk saling kenal dengan sesama. Sehingga muncul harmoni yang menambah keindahan dalam kehidupan di dunia.

Allah berfirman dalam QS Al-Hujurat ayat 13:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Oleh karena itu, Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, jamaah salat Idul Adha rahimakumullah,

Mari tinggalkan sifat dan sikap merasa unggul dalam materi dan kekayaan. Jauhi sikap merasa lebih mulia karena nasab atau keturunan. Hindari merasa lebih menarik dalam tampilan fisik dan pakaian. Ciptakan kehidupan yang saling menghormati dalam perbedaan.

Wujudkan kerukunan dan tumbuhkan cinta pada perdamaian. Karena sekali lagi yang dinilai oleh Allah hanyalah ketakwaan.
Rasulullah bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Artinya: “Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, jamaah salat Idul Adha rahimakumullah,

Selain salat Idul Adha dan berhaji di Tanah Suci, rasa cinta juga bisa kita tumbuhkan dari ibadah kurban yang kita jalani. Kurban yang dilakukan dengan menyembelih hewan ini, adalah simbol kita menyembelih dan membuang sifat kebinatangan yang bersemayam dalam diri.

Sombong, rakus, egois, serakah, dan mau menang sendiri menjadi sifat yang harus kita basmi dan hindari. Selanjutnya cinta dan saling mengasihi, harus kita pupuk dalam hati dan diri kita pribadi.

Perlu kita sadari bahwa kurban adalah ibadah berdimensi horizontal untuk mengasah kepedulian sosial. Kurban bukan hanya ibadah kepada Allah yang memiliki dimensi vertikal. Dengan kurban kita berbagi kebahagiaan dengan saling berbagi sedekah dan amal. Kita harus berupaya menghilangkan sekat yang membatasi secara optimal. Sehingga kehidupan bersama ini akan bisa berjalan baik dan maksimal.

Mari sisihkan harta yang kita miliki dengan berbagi. Janganlah khawatir harta kita akan berkurang karena banyak memberi. Allah lah sang pemberi rezeki yang akan melipatgandakan sedekah yang kita lakoni.

Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 261:

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”

Rasulullah juga bersabda:

مَا أَحْسَنَ عَبْدٌ الصَّدَقَةَ إِلَّا أَحْسَنَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ الْخِلَافَةَ عَلَى تِرْكَتِهِ

Artinya: “Tidaklah seorang hamba memperbaiki sedekahnya kecuali Allah memperbaiki pengganti atas harta tinggalannya.” (HR Ibnu al-Mubarak).

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, jamaah salat Idul Adha rahimakumullah,

Di penghujung khutbah Idul Adha, mari kita resapi ayat Al-Qur’an tentang kepastian diterimanya kurban dan pahalanya. Bukan besarnya hewan kurban dan jumlah daging yang menunjukkan kualitas kurban kita. Namun keikhlasan dalam beribadah untuk mencapai derajat takwa, yang akan sampai kepada Allah yang Maha Kuasa. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 37:

لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya: “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang muhsin.”

Semoga Hari Raya Idul Adha kali ini benar-benar mampu menumbuhkan cinta dan kepedulian pada sesama. Semoga semua ibadah kita diterima oleh Allah swt. Amin.

جَعَلَنَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْعَائِدِينَ وَالْفَائِزِينَ وَالْمَقْبُولِينَ كُلَّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ. آمِينَ

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ، وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. وَقُلْ رَّبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ

الحَمْدُ لِلّٰهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ خُلُقَهُ الْقُرْآنُ

أَمَّا بَعْدُ، فَأُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاتَّقُوا اللهَ تَعَالَى فِي هَذَا الْيَوْمِ الْعَظِيمِ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الطَّيِّبِيْنَ، وَارْضَ اللّٰهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ، أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ الصَّالحينَ

اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ، اللّٰهُمَّ اجْعَلْ عِيدَنَا هَذَا سَعَادَةً وَتَلاَحُمًا، وَمَسَرَّةً وَتَرَاحُمًا، وَزِدْنَا فِيهِ طُمَأْنِينَةً وَأُلْفَةً، وَهَنَاءً وَمَحَبَّةً، وَأَعِدْهُ عَلَيْنَا بِالْخَيْرِ وَالرَّحَمَاتِ، وَالْيُمْنِ وَالْبَرَكَاتِ، اللّٰهُمَّ اجْعَلِ الْمَوَدَّةَ شِيمَتَنَا، وَبَذْلَ الْخَيْرِ لِلنَّاسِ دَأْبَنَا، اللّٰهُمَّ أَدِمِ السَّعَادَةَ عَلَى وَطَنِنَا، وَانْشُرِ الْبَهْجَةَ فِي بُيُوتِنَا، وَاحْفَظْنَا فِي أَهْلِينَا وَأَرْحَامِنَا، وَأَكْرِمْنَا بِكَرَمِكَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ مَعَ الْأَبْرَارِ، يَا عَزِيزُ يَا غَفَّارُ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ، وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ، عِيْدٌ سَعِيْدٌ وَكُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ

(H. Muhammad Faizin, Sekretaris MUI Provinsi Lampung)

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَمَرَنَا بِذَبْحِ الْأُضْحِيَّةِ. وَبَلَغَنَا إِلَى هٰذَا الْيَوْمِ مِنْ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ ذُوْ رَحْمَةٍ وَاسِعَةٍ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ تُرْجَى مِنْهُ الشَّفَاعَةُ. أَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الرَّحْمَةِ، وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ ذَوِي الْعُقُوْلِ السَّلِيْمَةِ، صَلَاةً وَسَلَامًا مُتَلَازِمَيْنِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمْ : لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah,

Semua yang hadir di tempat ini pasti merasakan, betapa besar nikmat-nikmat Allah yang telah dianugerahkan. Nikmat itu tak akan bisa dihitung dalam angka dan angan-angan. Nikmat itu terus mengiringi setiap langkah kita dalam kehidupan. Untuk kita syukuri dan kuatkan, serta diwujudkan melalui lisan, tindakan, dan perbuatan dalam keseharian.

Alhamdulillahirabbil alamin. Kalimat inilah yang harus kita tancapkan lahir dan batin. Agar nikmat yang kita terima ini tetap abadi dan kita tetap yakin, bahwa Allah lah yang pada-Nya tidak ada yang tidak mungkin. Mudah-mudahan kita termasuk golongan orang Mukmin, yang senantiasa ditambah nikmatnya oleh Allah Sang Rabbul Alamin. Amin-amin ya Rabbal Alamin.

Di antara nikmat yang tak bisa kita pungkiri saat ini, adalah umur panjang, kesehatan, dan kesempatan yang senantiasa mengiringi. Sehingga kita bisa merasakan nikmat berhari Raya Idul Adha 1446 H bersama orang-orang yang kita cintai.

Nikmat ini harus kita iringi juga dengan menguatkan takwa kepada Ilahi Rabbi, dengan menjalankan perintah-Nya yang suci dan meninggalkan larangan-Nya dalam kehidupan kita sehari-hari. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 102:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim,”

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah, Idul Adha merupakan hari raya umat Islam yang selalu diwarnai dengan kemeriahan dan kebersamaan. Dari hal ini muncullah cinta dan juga kebahagiaan.

Semua ini bisa kita rasakan dalam rangkaian ibadah seperti shalat Id berjamaah, ibadah haji, dan juga kurban. Kita berkumpul bersama di masjid dan tanah lapang yang penuh keberkahan. Untuk bersama melaksanakan shalat Id sebagai wujud penghambaan dan ketaatan. Semua berkumpul tanpa memandang status kehidupan. Semua sama di hadapan Allah dengan pembeda hanya ketakwaan.

Para jamaah haji di Tanah Suci pun demikian juga. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Mereka berasal dari berbagai bangsa juga bahasa. Iman dan ketakwaan menyatukan mereka. Mereka menghamba kepada Allah, Tuhan alam semesta. Sekaligus menebar kasih sayang kepada sesama sebagai wujud ibadah sosial dan kebersamaan penuh cinta.

Kebersamaan dalam haji dan shalat Idul Adha, tentu akan memperkuat ikatan persaudaraan kita. Dari sinilah akan tumbuh rasa cinta untuk senantiasa menghormati sesama. Kita memang diciptakan ke dalam suku, bangsa, warna kulit, dan budaya yang berbeda-beda.

Namun perbedaan itu bukan untuk dibanding-bandingkan dan merasa unggul satu dengan yang lainnya. Tujuan diciptakannya kita berbeda-beda oleh Allah adalah untuk saling kenal dengan sesama. Sehingga muncul harmoni yang menambah keindahan dalam kehidupan di dunia. Allah berfirman dalam QS Al-Hujurat ayat 13:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”

Oleh karena itu, Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah, Mari tinggalkan sifat dan sikap merasa unggul dalam materi dan kekayaan. Jauhi sikap merasa lebih mulia karena nasab atau keturunan. Hindari merasa lebih menarik dalam tampilan fisik dan pakaian. Jangan memandang rendah orang lain dan merasa tinggi karena jabatan.

Ciptakan kehidupan yang saling menghormati dalam perbedaan. Wujudkan kerukunan dan tumbuhkan cinta pada perdamaian. Karena sekali lagi yang dinilai oleh Allah, tiada lain dan tiada bukan, hanyalah ketakwaan. Rasulullah bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Artinya: “Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat,

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah, Selain shalat Idul Adha dan berhaji di Tanah Suci, rasa cinta juga bisa kita tumbuhkan dari ibadah kurban yang kita jalani. Kurban yang dilakukan dengan menyembelih hewan ini, adalah simbol kita menyembelih dan membuang sifat kebinatangan yang bersemayam dalam diri.

Sombong, rakus, egois, serakah, dan mau menang sendiri menjadi sifat yang harus kita basmi dan hindari. Selanjutnya cinta dan saling mengasihi, harus kita pupuk dalam hati dan diri kita pribadi. Perlu kita sadari bahwa kurban adalah ibadah berdimensi horisontal untuk mengasah kepedulian sosial.

Kurban bukan hanya ibadah kepada Allah yang memiliki dimensi vertikal. Dengan kurban kita berbagi kebahagiaan dengan saling berbagi sedekah dan amal. Kita harus berupaya menghilangkan sekat yang membatasi secara maksimal.

Sehingga kehidupan bersama ini akan bisa berjalan baik dan normal. Mari sisihkan harta yang kita miliki dengan berbagi. Janganlah khawatir harta kita akan berkurang karena banyak memberi. Allah lah sang pemberi rezeki yang akan melipatgandakan sedekah yang kita lakoni. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 261:

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” Rasulullah juga bersabda:

مَا أَحْسَنَ عَبْدٌ الصَّدَقَةَ إِلَّا أَحْسَنَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ الْخِلَافَةَ عَلَى تِرْكَتِهِ

Artinya: “Tidaklah seorang hamba memperbaiki sedekahnya kecuali Allah memperbaiki pengganti atas harta tinggalannya.” (HR Ibnu al-Mubarak).

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah

Di penghujung khutbah Idul Adha, mari kita resapi ayat Al-Qur’an tentang kepastian diterimanya kurban dan pahalanya. Bukan besarnya hewan kurban dan jumlah daging yang menunjukkan kualitas kurban kita. Namun keikhlasan dalam beribadah untuk mencapai derajat takwa, yang akan sampai kepada Allah yang Maha Kuasa. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 37:

لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya: “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang Muhsin.”

Semoga Hari Raya Idul Adha kita, benar-benar mampu menumbuhkan cinta dan kepedulian pada sesama. Semoga semua ibadah kita, diterima oleh Allah swt. Amin.

جَعَلَنَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْعَائِدِينَ وَالْفَائِزِينَ وَالْمَقْبُولِينَ كُلَّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ. آمِينَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ، وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. وَقُلْ رَّبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ الحَمْدُ لِلّٰهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ خُلُقَهُ الْقُرْآنُ أَمَّا بَعْدُ، فَأُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاتَّقُوا اللهَ تَعَالَى فِي هَذَا الْيَوْمِ الْعَظِيمِ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الطَّيِّبِيْنَ، وَارْضَ اللّٰهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ، أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ الصَّالحينَ اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ، اللّٰهُمَّ اجْعَلْ عِيدَنَا هَذَا سَعَادَةً وَتَلاَحُمًا، وَمَسَرَّةً وَتَرَاحُمًا، وَزِدْنَا فِيهِ طُمَأْنِينَةً وَأُلْفَةً، وَهَنَاءً وَمَحَبَّةً، وَأَعِدْهُ عَلَيْنَا بِالْخَيْرِ وَالرَّحَمَاتِ، وَالْيُمْنِ وَالْبَرَكَاتِ، اللّٰهُمَّ اجْعَلِ الْمَوَدَّةَ شِيمَتَنَا، وَبَذْلَ الْخَيْرِ لِلنَّاسِ دَأْبَنَا، اللّٰهُمَّ أَدِمِ السَّعَادَةَ عَلَى وَطَنِنَا، وَانْشُرِ الْبَهْجَةَ فِي بُيُوتِنَا، وَاحْفَظْنَا فِي أَهْلِينَا وَأَرْحَامِنَا، وَأَكْرِمْنَا بِكَرَمِكَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ مَعَ الْأَبْرَارِ، يَا عَزِيزُ يَا غَفَّارُ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ، وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ، عِيْدٌ سَعِيْدٌ وَكُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ

(H. Muhammad Faizin, Sekretaris MUI Provinsi Lampung)

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ. الْحَمْدُ ِللهِ الْقَائِلِ فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ (وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ) أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Jamaah Sholat Idul Adha Yang dimuliakan Allah Swt

Marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, serta melafalkan sholawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Dalam kesempatan ini kami mengingkat kepada seluruh hadirin dan khusus kepada diri kami sendiri untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT. Karena dengan bertakwa kepada Allah SWT maka jalan menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat akan kita peroleh.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar

Pada hari dan bulan ini umat Islam dari seluruh penjuru dunia disyariatkan menjalankan 2 ibadah disamping ibadah yang rutin dilaksanakan setiap hari. Pertama ibadah haji dan, kedua ibadah kurban. Yang pertama, ibadah haji. pada pagi ini umat Islam yang istitha’ah (mampu), sedang berduyun-duyun dari Muzdalifah menuju Mina untuk melempar jumrah aqobah dan tahallul awal, setelah mulai kemarin siang tanggal 9 Dzulhijjah melaksanakan ibadah wukuf di Arofah.

Kalimat talbiyah, labbaika allahumma labbaik, labaika…. berkumandang hampir di seluruh kawasan mas’aril haram. Kawasan yang membentang dari Arafah sampai Masjidil Haram. Ibadah haji hukumnya wajib bagi yang mampu sesuai dengan perintah Allah SWT sebagaimana yang disebut dalam al Qur’an surat Ali Imron:96

وَلِلّٰـهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللّٰـهَ غَنِىٌّ عَنِ الْعٰلَمِينَ

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahilhamdu Jamaah Sholat Id Rahimakumullah Yang kedua, ibadah kurban. Ibadah ini berhukum sunnah ‘ain bagi individu dan sunnah kifayah bagi anggota keluarga. Ibadah ini memiliki kaitan dengan ibadah haji, sebagaian bersumber dari ajaran Nabi Ibrahim AS.

Pada hari ini, lebih 3000 tahun yang lalu, Nabi Ibrahim Kholilullah menjalankan praktek keagamaan yang penuh dengan nilai-nilai ke-ilahi-an, ketauhidan, kesabaran dan pengorbanan manusia kepada Tuhannya. Pada saat itu Nabi Ibrahim AS diuji oleh Allah SWT dengan ujian yang sangat luar biasa. Nabi Ibrahim AS melalui mimpinya diperintah Allah SWT untuk menyembelih putra tercintanya Ismail AS. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam al Quran surat As Shofat ayat 100-111

رَبِّ هَبْ لِى مِنَ الصّٰلِحِينَ ۚ فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيمٍ ۚ فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْىَ قَالَ يٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى الْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَانظُر مَاذَا تَرَىٰ ۖ قَالَ يٰٓأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَر ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ اللّٰـه مِنَ الصّٰبِرِينَ ۖ فَلَمَّآ أَسْلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلْجَبِينِ ۚ وَنٰدَيْنٰهُ أَن يٰٓإِبْرٰهِيم ۚ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّءْيَا (الاية…..)

Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
Selanjutnya, yang lebih penting adalah bagaimana memetik pelajaran dari perintah Allah tersebut dalam kehidupan saat ini. Ibadah Haji merupakan ibadah mahdlah dan bersifat fisik. Pelajaran yang bisa diambil dari ibadah ini adalah bahwa saat kita berkumpul dengan jutaan orang di tanah yang luas, kita merasa kecil.

Dalam kondisi seperti itu, tidak pantas bagi kita untuk sombong. Kita membutuhkan orang lain agar bisa membantu kita, dan agar orang lain tidak menyakiti kita. Tolong menolong dan saling pengertian dibutuhkan dalam upaya kita beribadah kepada Allah.

Karena kita tdk bisa beribadah dengan baik,tanpa ada sikap tolong menolong. Sedangkan secara spiritual apa yang bisa kita rasakan, alami dan refleksikan di tanah suci, saat kita betul-betul merasa dekat kepada Allah, semestinya bisa berpengaruh kepada sikap dan perilaku kita terutama dalam kehidupan bermasyarakat saat kita kembali lagi ke tanah air.

Dengan begitu, ibadah haji yang kita jalankan akan memompa kita untuk lebih giat lagi dalam berjuang demi tegaknya kesejahteraan dan keadilan di tengah-tengah masyarakat dan bangsa, termasuk . Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Allahu Akbar Walillah Ilhamdu Sedangkan pelajaran yang bisa kita ambil dari ibadah kurban adalah: dalam kehidupan ini tidak semata-mata materi, tetapi ada yang lebih dari itu, yaitu spiritual.

Dalam kitab-kitab Fiqih disebutkan bahwa daging hewan korban harus di sodaqohkan dan tidak boleh dijual belikan. Karena itu, dalam berkorban kita diajari bahwa, dalam hidup ini semuanya tidak bisa sekedar materi, tidak sekedar dihitung dengan uang. Semuanya selalu diperhitungkan dengan uang. Kalau tidak punya uang tidak punya kehormatan sehingga diremehkan.

Padahal uang bukanlah segala-galanya. Karena ada yang lebih dari itu, yaitu spiritualitas. Spiritual, yang berasal dari kata spirit yang berarti semangat. Semangat untuk berkurban, berjuang, melakukan sesuatu pekerjaan tidak sekedar mencari harta benda.

Contoh yang paling gampang berkaitan dengan spiritualitas bisa kami sebutkan di sini. Ada seseorang yang berjualan makanan, dia mengatakan “Saya kalau tidak jualan merasa tidak enak. Sebenarnya jika tidak berjualan saya sudah cukup, tetapi jika tidak berjualan saya merasa tidak enak. Karena pelanggan saya nanti makan dimana?” dan seterusnya. Inilah contoh sederhana dari nilai-nilai spiritualitas yang lebih tinggi dari materialitas.

Jamaah sholat Id rahimakumullah,

Demikian khutbah yang bisa kami sampaikan, semoga ibadah yang sedang dijalankan oleh para jamaah haji di tanah suci bisa menjadi haji yang mabrur dan ibadah kurban yang alan kita lakukan terhitung sebagai amal yang bisa membawa kita menjadi manusia yang tidak hanya sekedar bersikap materialistic, tetapi juga memiliki jiwa spiritualitas yang tinggi.

أعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطنِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ . بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلْ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ. فَاسْتَغْفِرُوْا اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (4×) اللهُ اَكْبَرْ كبيرا وَاْلحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَ أَصْيْلاً لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَللهِ اْلحَمْدُ اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا رَسُولُ اللّٰهِ، وَرَحْمَتُهُ الْمُهْدَاةُ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الأَمِيْنِ، وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الطَّيِّبِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ أَمَّا بَعْدُ، فَأُوصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللّٰهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ، القَائِلِ فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُࣖ (الكوثر)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Mengawali khutbhah id pada pagi hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua, terutama kepada diri khatib pribadi, untuk senantiasa berusaha meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kapan pun dan di mana pun kita berada serta dalam keadaan sesulit apa pun dan dalam kondisi yang bagaimana pun, dengan cara melaksanakan segenap kewajiban dan menjauhi segala larangan Allah ta’ala.

Allahu Akbar (3x) walillahilhamdu

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Keluarga Nabi Ibrahim adalah keluarga yang saleh. Sang ayah, yaitu Ibrahim, serta istri dan kedua putranya, semuanya adalah hamba-hamba yang saleh. Saleh (shalih) artinya memenuhi hak Allah dan hak sesama hamba. Kesalehan tidak akan dicapai kecuali dengan ilmu dan amal.

Tanpa ilmu, seseorang tidak akan mampu beramal dengan benar sesuai tuntunan syariat. Dan ilmu tanpa amal tidak akan mendekatkan diri kepada Allah dan tidak akan mengantarkan seseorang menjadi pribadi yang saleh. Ada banyak sekali sisi kesalehan keluarga Nabi Ibrahim yang dapat kita teladani. Di antaranya adalah hal-hal sebagai berikut. Pertama, Nabi Ibrahim sangat kuat memegangteguh akidah dan syariat.

Allah ta’ala berfirman: مَاكَانَ اِبْرٰهِيْمُ يَهُوْدِيًّا وَّلَا نَصْرَانِيًّا وَّلٰكِنْ كَانَ حَنِيْفًا مُّسْلِمًاۗ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ (آل عمران: ٦٧)

Artinya: “Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, melainkan dia adalah seorang yang memegang teguh Islam. Dia bukan pula termasuk (golongan) orang-orang musyrik.” (QS Ali ‘Imran: 68) Nabi Ibrahim sebagaimana nabi-nabi yang lain adalah ma’shum (selalu dijaga oleh Allah) dari kufur atau syirik, dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil yang menunjukkan kehinaan jiwa, baik sebelum maupun setelah diangkat menjadi nabi. Nabi Ibrahim tidak pernah sedikit pun meragukan ketuhanan Allah. Beliau tidak pernah menyembah selain Allah, tidak pernah menyembah bulan, bintang dan matahari. Nabi Ibrahim tidak pernah menjual berhala bersama ayahnya. Nabi Ibrahim tidak pernah memintakan ampunan dosa kepada Allah untuk ayahnya yang musyrik. Dan Nabi Ibrahim tidak pernah meragukan sifat qudrah (Mahakuasa) Allah ta’ala. Beliau juga tidak pernah berdusta dalam setiap ucapannya.

Kedua, berdakwah dengan penuh hikmah. Hal itu tercermin tatkala Nabi Ibrahim mengajak ayahnya untuk masuk ke dalam agama Islam sebagaimana diceritakan dalam QS al-An’am ayat 41-44. Nabi Ibrahim dengan menjaga adab seorang anak kepada orang tuanya menjelaskan dengan santun kepada ayahnya yang menyembah berhala bahwa berhala tidaklah dapat mendengar doa penyembahnya dan tidak dapat melihat penyembahnya.

Yang demikian itu, bagaimana mungkin ia dapat memberi manfaat kepada penyembahnya, memberi rezeki kepadanya atau menolongnya. Ibrahim mengajak ayahnya untuk menyembah kepada Allah semata, satu-satunya Tuhan yang berhak dan wajib disembah.

Ketiga, berilmu, memiliki hujjah yang kuat dan beramar ma’ruf nahi mungkar dengan penuh keberanian. Nabi Ibrahim telah diberi hujjah yang kuat oleh Allah ta’ala sehingga selalu dapat mematahkan berbagai dalih yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam ketika berdebat. Allah ta’ala berfirman:

وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ اٰتَيْنٰهَآ اِبْرٰهِيْمَ عَلٰى قَوْمِهٖۗ (الأنعام: ٨٣)

Artinya: “Itulah hujjah yang Kami anugerahkan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya” (QS al-An’am: 83).
Karena memiliki hujjah yang kuat inilah, Nabi Ibrahim berhasil membungkam para penduduk daerah Harraan yang menganggap bulan, bintang dan matahari sebagai tuhan. Ibrahim menjelaskan kepada mereka bahwa bulan, bintang, dan matahari tidak layak disembah karena mereka adalah makhluk yang mengalami perubahan, terbit lalu tenggelam. Sesuatu yang berubah dari satu keadaan ke keadaan yang lain pasti bukan tuhan. Karena sesuatu yang berubah pasti membutuhkan kepada yang mengubahnya. Sesuatu yang membutuhkan kepada yang lain, berarti ia lemah. Dan sesuatu yang lemah tidak mungkin disebut tuhan yang layak disembah.

Perkataan Nabi Ibrahim kepada kaumnya: هذا ربي seperti dikisahkan dalam QS al-An’am ayat 76-78 adalah dalam konteks mendebat kaumnya dan menjelaskan bahwa bulan, bintang, dan matahari tidak layak disembah. Perkataan tersebut tidak berarti Ibrahim menetapkan bulan, bintang, dan matahari sebagai tuhan. Karena Nabi Ibrahim tidak pernah mengalami fase kebingungan mencari-cari Tuhan. Sebelum perdebatan itu, bahkan sebelum diangkat menjadi nabi, beliau telah mengetahui dan meyakini bahwa satu-satunya Tuhan yang berhak disembah hanyalah Allah. Dialah satu-satunya pencipta segala sesuatu, Tuhan yang menghendaki terjadinya segala sesuatu dan yang berbeda dengan segala sesuatu. Allah ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ اٰتَيْنَآ اِبْرٰهِيْمَ رُشْدَهٗ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهٖ عٰلِمِيْنَ (الأنبياء: ٥١)

Artinya: “Sungguh, Kami benar-benar telah menganugerahkan kepada Ibrahim petunjuk sebelum masa kenabiannya dan Kami telah mengetahui dirinya” (QS al-Anbiya’: 51).

Perkataan Nabi Ibrahim: هذا ربي ketika melihat bulan, bintang dan matahari adalah bermakna istifham inkari, yakni beliau bertanya kepada kaumnya dengan maksud mengingkari bukan dengan tujuan menetapkan: “Inikah Tuhanku?”. Seakan-akan beliau ingin mengatakan: “Wahai kaumku, inikah tuhanku seperti yang kalian sangka?. Ini jelas bukan tuhanku karena ia berubah, terbit lalu terbenam.” Demikianlah yang dikatakan oleh para ulama tafsir. Ibrahim adalah seorang nabi yang ma’shum dari kemusyrikan sebelum maupun setelah menjadi nabi.

Keempat, dalam berjuang menegakkan agama Allah, tidak ada yang perlu ditakuti dan dikhawatirkan. Rezeki telah diatur. Ajal sudah termaktub. Hal itu dibuktikan ketika Raja Namrud hendak melemparkannya ke dalam api yang berkobar-kobar, Nabi Ibrahim tidak gentar sedikit pun. Ia yakin sepenuhnya bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang memperjuangkan agama-Nya.

Kelima, tawakal sepenuhnya kepada Allah tanpa meninggalkan ikhtiar. Hal itu tercermin pada peristiwa di mana Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail yang masih bayi di Makkah yang tandus dan tiada sumber air. Karena takwa dan tawakal yang tertanam kuat di hati Ibrahim dan Hajar, akhirnya Ibrahim meninggalkan keduanya karena menjalankan perintah Allah, dan Hajar rela ditinggal di tempat itu. Keenam, bersegera menjalankan perintah Allah, seberat dan sebesar apapun risikonya.

Setelah penantian yang begitu panjang, akhirnya Allah mengaruniakan kepada Ibrahim seorang putra yang kemudian diberi nama Ismail. Putra yang sangat dicintainya itu setelah tumbuh menjadi seorang remaja, Ibrahim diperintahkan Allah untuk menyembelihnya.

Dengan ketundukan yang total kepada Allah, Ibrahim bersegera menjalankan perintah itu tanpa ada keraguan sedikit pun. Sang putra juga menyambut perintah itu dengan kepasrahan yang total tanpa ada protes sepatah kata pun.

Ma sya Allah!. Sebuah potret keluarga saleh yang lebih mengutamakan perintah Allah dibandingkan dengan apa pun selainnya. Ayah dan anak saling menolong dan menyemangati untuk melaksanakan perintah Allah. Dialog indah antara keduanya terekam dalam al-Qur’an sebagaimana dikisahkan oleh Allah:

قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ (الصافات: ١٠٢)

Artinya: “….. Ibrahim berkata: “Duhai putraku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?” (QS ash-Shaffat: 102).

Sebagaimana kita tahu bahwa mimpi para nabi adalah wahyu. Sedangkan perkataan Nabi Ibrahim kepada putranya, “Maka pikirkanlah apa pendapatmu?,” bukanlah permintaan pendapat kepada putranya apakah perintah Allah itu akan dijalankan ataukah tidak, juga bukanlah sebuah keragu-raguan. Nabi Ibrahim hanya ingin mengetahui kemantapan hati putranya dalam menerima perintah Allah subhanahu wa ta’ala.

Lalu dengan kemantapan dan keteguhan hati, Nabi Ismail menjawab dengan jawaban yang menunjukkan bahwa kecintaannya kepada Allah jauh melebihi kecintaannya kepada jiwa dan dirinya sendiri:

قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ (الصافات: ١٠٢)

Artinya: “Ismail menjawab: “Wahai ayahandaku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, in sya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS ash-Shaffat: 102).

Jawaban Ismail yang disertai “In sya Allah” menunjukkan keyakinan sepenuh hati dalam dirinya bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah. Apa pun yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa pun yang tidak dikehendaki Allah pasti tidak akan terjadi.

Allahu Akbar (3x) walillahilhamdu,

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Demi mendengar jawaban dari sang putra tercinta, Nabi Ibrahim lantas menciumnya dengan penuh kasih sayang sembari menangis terharu dan mengatakan kepada Ismail:

نِعْمَ الْعَوْنُ أَنْتَ يَا بُنَيَّ عَلَى أَمْرِ اللّٰهِ

Artinya: “Engkaulah sebaik-baik penolong bagiku untuk menjalankan perintah Allah, duhai putraku.”

Nabi Ibrahim kemudian mulai menggerakkan pisau di atas leher Ismail. Akan tetapi pisau itu sedikit pun tidak dapat melukai leher Ismail. Hal ini dikarenakan pencipta segala sesuatu adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Pisau hanyalah sebab terpotongnya sesuatu. Sedangkan pencipta terpotongnya sesuatu dan pencipta segala sesuatu tiada lain adalah Allah ta’ala. Sebab tidak dapat menciptakan akibat. Baik sebab maupun akibat, keduanya adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala.

Hadirin yang berbahagia, berkat takwa, sabar dan tawakal serta ketundukan total yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail serta Hajar, Allah kemudian memberikan jalan keluar dan mengganti Ismail dengan seekor domba jantan yang besar dan berwarna putih yang dibawa malaikat Jibril dari surga. Hal itu dikisahkan dalam QS ash-Shaffat: 106-107.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Akhirnya kita berdoa, semoga Allah menganugerahkan kepada kita kekuatan untuk meneladani kesalehan Nabi Ibrahim dan keluarganya. Amin Ya Rabbal ‘alamin.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

اللهُ أَكْبَرُ (٣x) اللهُ أَكْبَرُ (٣x) اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ الحَمْدُ لِلّٰهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ خُلُقَهُ الْقُرْآنُ أَمَّا بَعْدُ، فَأُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاتَّقُوا اللهَ تَعَالَى فِي هَذَا الْيَوْمِ الْعَظِيمِ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الطَّيِّبِيْنَ، وَارْضَ اللّٰهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ، أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ الصَّالحينَ اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ، اللّٰهُمَّ اجْعَلْ عِيدَنَا هَذَا سَعَادَةً وَتَلاَحُمًا، وَمَسَرَّةً وَتَرَاحُمًا، وَزِدْنَا فِيهِ طُمَأْنِينَةً وَأُلْفَةً، وَهَنَاءً وَمَحَبَّةً، وَأَعِدْهُ عَلَيْنَا بِالْخَيْرِ وَالرَّحَمَاتِ، وَالْيُمْنِ وَالْبَرَكَاتِ، اللّٰهُمَّ اجْعَلِ الْمَوَدَّةَ شِيمَتَنَا، وَبَذْلَ الْخَيْرِ لِلنَّاسِ دَأْبَنَا، اللّٰهُمَّ أَدِمِ السَّعَادَةَ عَلَى وَطَنِنَا، وَانْشُرِ الْبَهْجَةَ فِي بُيُوتِنَا، وَاحْفَظْنَا فِي أَهْلِينَا وَأَرْحَامِنَا، وَأَكْرِمْنَا بِكَرَمِكَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ مَعَ الْأَبْرَارِ، يَا عَزِيزُ يَا غَفَّارُ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ، وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ، عِيْدٌ سَعِيْدٌ وَكُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ

(Ustadz Nur Rohmad, Anggota Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Aswaja NU Center PCNU Kab. Mojokerto)

Teks Khutbah Idul Adha 1: Membentuk Keshalehan Pribadi dan Sosial dengan Ibadah Haji dan kurban

Khutbah I

Khutbah II

Teks Khutbah Idul Adha 2: Membangun Semnagat Kurban

Khutbah I

Khutbah II

Teks Khutbah Idul Adha 3: Hikayat Nabi Ibrahim dalam Haji dan Kurban

Khutbah I

Khutbah II

Teks Khutbah Idul Adha 4: Kisah Ibrahim dan Ismail

Khutbah I

Khutbah II

Teks Khutbah Idul Adha 5: Pesan Kemanusiaan dari Kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW

Khutbah I

Khutbah II

Teks Khutbah Idul Adha 6: Haji dan Kurban, Barometer Keimanan dan Ketakwaan

Khutbah I اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم Khutbah II اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ

Teks Khutbah Idul Adha 7: Hari Raya, Cinta dan Kepedulian pada Sesama

Khutbah I

Khutbah II

Teks Khutbah Idul Adha 8: Hari Raya, Cinta, dan Kepedulian pada Sesama

Khutbah I

Khutbah II

Teks Khutbah Idul Adha 9: Dua Ibadah Istimewa di Bulan Dzulhijjah

Khutbah I

Khutbah Kedua

Teks Khutbah Idul Adha 10: 6 Keteladanan Keluarga Nabi Ibrahim

Khutbah I

Khutbah II