Angkat Tema Pangan, 10 Komunitas Unjuk Gigi di Festival Teater Sumatera

Posted on

Festival Teater Sumatera kembali digelar di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Kali ini, 10 komunitas teater unjuk gigi dengan membawakan tema Pangan: Tanah, Air, dan Ingatan.

Pagelaran ini digelar di Taman Budaya Sriwijaya, Jalan Seniman Amri Yahya, Kelurahan 15 Ulu, Palembang, pada Rabu-Kamis, 24-25 September 2025. Plt Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sumsel Pandji Tjahajanto mengatakan pagelaran ini merupakan misi dari kementerian untuk aktivasi Taman Budaya.

Dia menjabarkan, 10 komunitas teater yang terlibat antara lain Teater Umak-Palembang, KSB Rumah Sunting-Riau, Teater Air-Jambi, Komunitas Berkat Yakin-Lampung, dan Teater Potlot-Sumsel. Selain itu, ada Teater Seinggok Sepemunyian-Prabumulih, Komunitas Seni Nan Tumpah-Padang Pariaman, Komunitas Seni Hitam Putih-Sumbar, Medan Teater-Sumut, dan Teater Senyawa-Bengkulu.

“Festival Teater Sumatera kali ini diikuti oleh 10 teater se-Pulau Sumatera. Diharapkan dengan adanya festival ini (komunitas) teater lama dapat beraktivitas kembali dan tumbuh teater-teater baru. Harapannya, kehidupan berteater di Sumatera ini akan lebih terkenal lagi,” jelasnya.

Pandji mengatakan, tahun ini pihaknya mengambil tema mengenai pangan. Hal ini sesuai dengan arahan Presiden RI Prabowo Subianto bahwa Indonesia harus swasembada pangan.

“Selain itu, Sumsel juga merupakan salah satu lumbung pangan nasional. (Tema ini dipilih) untuk para pekerja seni dapat menyumbangkan kemampuannya menjabarkan pangan dalam seni teater,” jelasnya.

Salah satu yang tampil adalah Komunitas Teater Rumah Sunting dari Pekanbaru, Riau. Mereka membawakan pergolakan tokoh masyarakat di Riau menjaga tanah adat yang sedang dilirik perusahaan perkebunan.

“Kami menceritakan seorang anak keturunan tokoh bernama Datuk Pagar yang dipercaya bisa berkomunikasi dengan Tuk Bolang atau Harimau Sumatera. Ia berjuang mempertahankan kampung dari gangguan siapapun, termasuk orang yang ingin membeli lahan demi perkebunan,” jelas Sutradara Rumah Sunting, Kunni Masrohati.

Kisah tersebut, kata Kunni, diambil dari situasi yang terjadi di Pekanbaru saat ini. Melalui pagelaran ini, ia bersama 5 orang timnya ingin menyampaikan keprihatinan atas kondisi masyarakat adat yang kehilangan tanah wilayahnya akibat digerogoti pihak luar.

“Hal ini sering mengakibatkan pertengkaran antara masyarakat, pemerintah, perusahaan, dan terus seperti itu. Kondisi itulah yang kami gambarkan dalam pertunjukan kali ini,” ujarnya.

Mengambil perspektif lain, Teater Umak dari Palembang menampilkan kisah lebih modern dengan pentas berjudul ‘Kentut’. Di atas panggung, mereka memperlihatkan kehidupan pemulung yang pingsan kelaparan usai bekerja dan kreator konten yang berdalih ingin membantu namun tak lepas dari siaran langsung di gawainya.

“Dinamakan Kentut karena ternyata di perut pemulung itu banyak angin. Di mana kentut itu wujudnya tak jelas, seperti orang yang ngomong aja mau menolong tapi tak jelas (bentuk bantuannya),” tutur Sutradara dan Penulis Naskah Kentut, Toton Dai Permana.

Dia menjelaskan, kentut juga dapat diartikan sebagai tanda kehidupan karena mustahil orang mati dapat mengeluarkan gas tersebut. Dalam cerita tersebut, kata Toton, pemulung itu memiliki keinginan untuk mati namun masih diberi hidup dengan ditandai kentut.

“Kalau dia kentut, berarti masih hidup. Di akhir dia (pemulung) bilang bahwa ternyata mati itu bukan pilihan. Padahal dia sebenarnya ingin mengakhiri hidup mengingat perjuangannya sehari-hari (menjadi pemulung). Inilah kehidupan kaum pinggiran, kami hanya ingin mengingatkan,” tutupnya.