Ratusan warga Desa Darmo, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, memprotes lahan mereka digusur oleh PT Bukit Asam (PTBA). Perusahaan tambang tersebut diduga menggusur kebun warga untuk pembangunan proyek Coal Handling Facility (CHF) TLS 6 & 7 tanpa adanya penyelesaian hukum yang jelas dan tanpa memberikan ganti rugi.
Kuasa hukum dari 262 warga Desa Darmo, Conie Pania Putri mengatakan persoalan ini sudah berlangsung sejak tahun 2022. Padahal, kata dia, lahan yang dipermasalahkan sudah dikelola warga secara turun-temurun dan menjadi sumber penghidupan utama, seperti kebun karet yang masih produktif hingga kini.
Menurutnya, masyarakat sama sekali tidak tahu bahwa lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan atau milik negara. Tidak pernah ada sosialisasi atau ajakan diskusi dari pemerintah kepada warga dalam proses penetapan status kawasan itu.
“Kalau merujuk pada Undang-undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, penetapan kawasan hutan harus melalui berbagai proses dan melibatkan masyarakat, prosesnya juga panjang. Namun, warga Desa Darmo merasa tidak pernah dilibatkan, juga tidak pernah ada sosialisasi tentang kawasan hutan ini” katanya kepada infoSumbagsel, Rabu (16/7/2025).
Conie menjelaskan, awalnya PTBA setuju membayar ganti rugi menggunakan Pergub Sumsel Nomor 40 Tahun 2017 yang mengatur soal tarif ganti rugi atas tanah dan tanaman warga.
Namun, sambungnya, PTBA mengubah pendekatannya dan memilih menggunakan aturan dari Perpres 78 Tahun 2023 tentang perubahan atas Perpres no 62 tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional. Sayangnya, perpres itu lebih mengarah pada pemberian santunan, bukan ganti rugi yang sepadan.
“Perpres 78 ini dibuat untuk proyek strategis nasional, sedangkan proyek CHF TLS 6 & 7 tidak termasuk dalam daftar proyek strategis nasional yang diatur Perpres 109 Tahun 2020. Jadi, tidak tepat jika aturan itu digunakan untuk proyek ini,” ungkapnya.
Kata Conie, yang membuat warga makin kecewa, PTBA juga menggandeng pihak ketiga Kantor Jasa Penilai Publik untuk menilai harga tanah dan kebun warga. Hasil penilaiannya sangat tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan nilai sebenarnya.
“Sementara warga hanya meminta satu hal, tetap gunakan Pergub 40 atau selesaikan lewat musyawarah,” jelasnya.
Conie juga menyayangkan sikap PTBA yang dinilai semena-mena. Dia dan tim kuasa hukum sudah meninjau langsung lokasi dan menemukan bahwa penggusuran sudah dilakukan, bahkan dengan pengawalan aparat penegak hukum.
“Belum ada kesepakatan, belum ada sepeser pun ganti rugi diberikan, tapi lahan warga sudah digusur. Ini tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum,” tegasnya.
Conie pun meminta perhatian serius dari pemerintah, mulai dari presiden hingga pemerintah daerah, untuk segera menyelesaikan persoalan ini dengan adil dan sesuai hukum. Dia juga menyoroti belum tampaknya peran dari pemerintah daerah, baik Gubernur Sumsel maupun Bupati Muara Enim, dalam memfasilitasi penyelesaian masalah ini.
“Kami minta pemerintah jangan tutup mata. Jangan sampai masyarakat jadi korban karena hak mereka diambil paksa tanpa kejelasan,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PTBA Niko Chandra mengatakan terkait dengan penyiapan lahan pembangunan CHF TLS 6 dan 7 di area Banko Tengah, Muara Enim, Sumatera Selatan bahwa pihaknya menjunjung tinggi kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menghormati hak-hak masyarakat di sekitar aktivitas operasional perusahaan, termasuk dalam penyelesaian hak atas tanah.
“Lahan yang digunakan untuk mendukung pembangunan CHF TLS 6 dan 7 berada dalam kawasan hutan produksi tetap milik negara yang saat ini telah menjadi area Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) Banko Tengah PTBA sejak tahun 2019,” katanya.
“Izin tersebut diberikan kepada PTBA sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yang mana lahan tersebut berstatus sebagai tanah negara dan penggunaannya telah memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang. Saat proses land clearing di area proyek, perusahaan mendapatkan pendampingan oleh KPH Suban Jeriji sebagai pemangku kawasan hutan,” sambungnya.
Kata dia, meskipun secara legal penggunaan lahan telah sesuai ketentuan yang berlaku, PTBA tetap mengedepankan kepedulian terhadap masyarakat melalui pendekatan yang mengedepankan dialog konstruktif, kolaboratif, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keberlanjutan.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
“Kami percaya bahwa sinergi dan komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar adalah kunci keberhasilan pembangunan Proyek TLS 6 dan 7 yang merupakan bagian dari upaya strategis dalam membuka akses logistik dan meningkatkan efisiensi rantai pasok batu bara yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan daerah,” ungkapnya.
“Selain itu, peningkatan kesejahteraan masyarakat serta memberikan kontribusi yang maksimal bagi pendapatan negara. Sekaligus, project ini juga untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik domestik dan ekspor, sekaligus berkontribusi pada ketahanan energi nasional,” lanjutnya.